∞
Hinata tidak banyak belajar soal keturunannya dengan benar. Gadis sepertinya tinggal di kota dan hanya tahu dari mulut orangtuanya kalau mereka punya darah terkutuk. Tidak mudah hidup dengan nama keluarga Hyuuga yang dikenal sebagai pengkhianat dalam sejarah. Klan itu telah dihapuskan keistimewaannya, tetapi mereka bahkan tak diizinkan meninggalkan Jepang. Hyuuga memicu banyak pemberontakan, pemburuan hewan rubah besar-besaran, sehingga klan dewa seperti keturunan para Kaisar itu pun membencinya, dan membuat klan itu beserta keturunannya berantakan.
Saat Hinata melihat keluar jendela kamarnya yang besar—kamar pengantinnya yang bergaya barat itu, dia melihat cahaya menyorot masuk. Dia sudah tinggal di sini selama seminggu dari pernikahan yang dipaksakan. Seminggu itu bahkan Naruto tak menemuinya. Malam pertama yang biasanya sangat romantis, dilewatinya dengan kesendirian, membuat Hinata bertanya-tanya, apakah pria itu sudah berubah, bertahun-tahun mengejarnya hanya karena rasa penasaran atau justru berniat mempermainkannya atas dasar dendam dari klannya.
Setiap pagi, pelayan khusus berkimono akan datang menemuinya. Tampang mereka tak ramah, ketika Hinata bertanya pun mereka tak akan menjawab. Dua pelayan selalu membersihkan tubuhnya dengan lap yang sebelumnya dibasahi. Satu baskom air dingin membuat Hinata merinding. Dia makan dengan teratur, dirawat dengan sangat baik, pakaiannya harum oleh pewangi beraroma lavendel, dan tentu saja rambutnya selalu digerai dan disisir lurus. Daripada seorang pengantin wanita, dia mirip tawanan perang. Tidak ada alat komunikasi yang bisa digunakannya untuk menghubungi seorang teman atau keluarganya.
Malam hari, tepat tengah malam, Hinata terbangun—seperti biasa karena dia memang tak bisa tidur dengan nyenyak semenjak tinggal di Puri Inari yang ada di pegunungan Chōkai, tempat tinggal para keturunan rubah, yang terlihat memusuhinya—dia melihat sekeliling, kamarnya sangat besar sampai dia malas untuk turun dari ranjangnya, tetapi dia ingin tahu siapa yang mendorong pintu bergaya barat yang menjulang tinggi itu. Dia hampir tak percaya yang dilihatnya adalah suaminya, Naruto.
"Rupanya kamu."
"Kamu belum tidur?" kimono Hinata sedikit melorot, beruntung kamisol yang digunakan istrinya itu masih menutupi bagian dada, hingga tampaknya itu sangat aman. Tapi apa yang perlu ditakuti oleh Naruto? Mereka sudah menikah. Hinata bahkan tak sedikit pun menunjukkan rasa malu dengan pakaian yang tipis semacam itu. Namun Naruto selalu lebih hati-hati, sekalipun dia dapat merasakan sesuatu mengeras dengan cepat di bawah perutnya. Dia monster dan cukup buas dalam urusan kawin—semua rubah jantan seperti itu. "Aku ingin melihatmu sekali saja hari ini."
"Belakangan aku bertanya-tanya, apa arti pernikahan di antara kamu dan aku," kata Hinata, wajahnya terlihat sangat sembap, kemungkinan sehabis menangis. Lagi pula itu sudah biasa. Dia sering membuat Hinata menangis karena kebersamaan mereka. "Semua orang membicarakanku sebagai pengkhianat yang memasuki Puri Inari. Aku menjual diriku demi klanku agar mendapatkan wilayah gratis untuk ditinggali. Apa kamu tahu betapa sakitnya aku mendengar itu. Para pelayan tak satu pun mau menjawab semua pertanyaanku. Aku seperti tinggal di penjara."
Naruto berdiri di depan pintu. Kalau dia melangkah mendekat dan mencoba memeluk Hinata, itu pasti salah. Sejak awal, dia membuat banyak masalah dengan memaksanya mencintainya, lantas terikat pada sebuah pernikahan.
Di kehidupan sebelumnya, dia bahkan mencuri pengantin pria lain. Di kehidupan saat ini, tak ada yang berubah, dia masih melakukan semua cara yang sama hanya untuk menyakiti wanita itu. Dan sikapnya yang tidak tegas menambah masalah. Sebagai seorang yang tidak ingin melibatkan Hinata ke dalam masalahnya dengan klan rubahnya, Naruto tak menceritakan apa pun, dia diam, lantas pergi begitu saja, mengabaikan Hinata yang merengut ingin menangis di tempatnya.
Setengah jam kemudian setelah kepergian Naruto, Hinata menangis dengan hati-hati agar telinga para rubah yang tajam itu tak mendengarnya. Biarpun dia berusaha sekuat tenaga, telinga Naruto dan semua orang di puri itu selalu mendengarnya, sejauh apa pun itu. Selanjutnya Naruto berhenti melangkah untuk melihat langit yang terang oleh bulan purnama di antara koridor yang sengaja pintu di sana dibuka hanya karena ingin cahaya bulan menyorot ke dalam puri, mengingatkannya pada bola mata Hinata. Ada banyak urusan yang harus dilakukannya setelah pernikahan tersebut. Menenangkan ibunya yang masih tidak menyukai ada penyihir di sini, tetapi harus diterima karena penyihir tersebut sekarang sudah menjadi menantunya.
Sudah berada di kamar ibunya, dia melihat wanita itu menghabiskan empat botol sake sendirian. Dia duduk bersimpuh di dekat wanita itu yang segera menghapus air matanya. Dia tak akan bertanya kesedihan karena apa. Tapi baru-baru ini dia menebak ada sesuatu yang disembunyikan selain ketidaksukaannya yang terang-terangan terhadap istrinya.
"Sepulang dari makan malam kemarin, aku bertemu dengannya," suara ibunya yang lemah itu menyayat hatinya. Naruto mendengarkan karena memang seharusnya begitu.
Naruto masih menunduk, tetapi kedua tangannya mengepal kuat di atas lututnya yang ditekuk.
"Apa yang harus aku lakukan agar bisa bertemu dan menyeyanginya dengan bebas? Dia bahkan bukan rubah di antara kita. Setiap kali dia lahir kembali, dia menjadi manusia biasa yang selalu ceria dan mewarnai kehidupan orang lain. Aku sangat sedih, tetapi langit justru secerah ini."
"Kamu harusnya pergi untuk menemuinya bahkan sekali."
"Aku berjanji untuk tidak menemuinya begitu dia melewati pintu untuk pergi meninggalkanku dalam perang yang menewaskannya. Sumpah itu tak akan pernah aku langgar, sudah sepantasnya aku tidak datang kepada pria yang meninggalkanku," sungguhpun dia mengatakannya demikian, hati Kushina hancur. Dia menghapus air matanya dan meraung kecil di balik lengannya. Dia mencintai suaminya dan selalu ingin bertemu dengan pria itu ketika lahir kembali ke dunia. Tapi dia mengingat sudah mengutuk hubungan mereka, tetapi mengapa sebaliknya hatinya justru terasa sangat menyakitkan.
Jika kamu keluar dari puri ini selangkah saja, aku tidak akan pernah menemuimu saat kamu gugur dalam pertempuran itu, meskipun nantinya kamu terlahir kembali ke dunia. Pada saat itu, air mata Kushina menggenang dan mengalir deras sambil menunjukkan kebenciannya terhadap belahan jiwanya. Namun pria itu pergi meninggalkannya, punggung lebar itu masih diingat oleh Kushina semakin menjauhi, berlari secepat kilat sampai akhirnya mata rubah Kushina tak mampu melihatnya.
Selagi dia merasa terpukul dengan ketidakpatuhan suaminya, kabar beberapa hari kemudian semakin membuatnya terguncang, dia mendengar suaminya gugur di tangan penyihir. Dia meraung sambil mengingat pesan terakhir suaminya, bahwa sebagai seorang panglima tertinggi, pria itu harus pergi untuk menyelamatkan kaumnya yang tertindas. Pria itu tidak akan pernah mencoreng harga dirinya sebagai panutan bagi prajurit-prajurit yang mengandalkannya. Kematian dalam medan pertempuran adalah kebanggaan, tetapi bagi Kushina itu sebuah rasa sakit di sepanjang hidupnya.
∞
9. Soulmind, 16 Feb 2024
BERSAMBUNG
![](https://img.wattpad.com/cover/361763943-288-k669776.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MIDNIGHT SUN ✔
Fanfic[SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA] Dua keluarga yang punya masa lalu saling tidak akur itu tiba-tiba bersama hanya karena anak-anak mereka; keturunan murni yang akhirnya bersatu dalam pernikahan yang dipaksakan, demi membangun persahabatan atau perdamaian...