Vanilla Latte

38 2 3
                                    

27 Desember 2014

Di bawah guyuran air hujan yang tak ada hentinya sejak 3 jam yang lalu, seorang gadis berlari memasuki cafe terdekat dari kampusnya. Lagi-lagi sial, batinnya. Sudah satu minggu ini ia mengalami hal yang sama. Dengan pakaian basah kuyup dan tubuh ramping yang menggigil kedinginan memasuki café dan memesan minuman yang sama. Secangkir kopi Espresso hangat. Ia melirik arloji hitamya sekilas lalu menghitung mundur dalam hati. 5,4,3,2.. tepat hitungan ke satu ponselnya berdering. Dengan malas ia menjawab panggilan itu. "Ya?" "Dimana?" Jawab seseorang di seberang ponsel."Di café biasa, ada apa?" pertanyaan yang sama selama satu minggu ini. Gadis itu mendengar suara geraman kesal lalu orang itu menjawab, "Tunggu aku. Jangan kemana-mana.""Ya, baiklah." memangnya aku bisa kemana lagi? Tambahnya dalam hati lalu menutup sambungan telephonenya.

Beberapa menit kemudian seorang pria memasuki café tersebut. Ia mengedarkan pandangan dan menemukan apa yang dicarinya. Gadis itu. Ia menghampiri gadis itu dan mengernyit dengan apa yang dilihitnya. Pipinya merah, kakinya gemetar. Dan yang paling buruk gadis itu memesan secangkir kopi Espresso, lagi. "Kau pesan Espresso lagi?" tanyanya seraya melepaskan jaketnya dan memberikan kepada gadis yang telah ditemukannya. "Ya, aku butuh sesuatu yang hangat." Jawab gadis itu sembari memakaikan jaket di tubuhnya lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Pria itu menatapnya sekilas, lalu memanggil pelayan dan memesan secangkir vanilla latte hangat. Kemudian ia duduk di hadapan gadis itu.

Pria dihadapannya inilah yang menelphonenya tadi. Tubuh jangkung, alis tebal, bola matanya hitam kelam, matanya yang besar, rambut yang acak-acakan akibat sering dikibaskan berulang kali karena terkena air hujan, dan kemeja basah yang bagian lengannya digulung sampai siku. "Sudah?" tanya pria itu tiba-tiba. "Apa?" jawab gadis dihadapannya. Bingung, ia mengalihkan tatapannya ke minuman yang sekarang tinggal setengah sembari memutar-mutarkan sendoknya. "Sudah selesai mengamati wajahku?" kalimat itu diakhiri dengan senyum khasnya. "Siapa yang sedang mengamati wajahmu? Aku hanya berfikir, mengapa akhir-akhir ini kau selalu muncul di hadapanku di jam seperti ini." Jawabnya datar sembari mengangkat kedua bahunya acuh. Setelah jawaban itu, seorang pelayan memberikan secangkir vanilla late hangat di atas meja. "Terimakasih." Ucap si pria tanpa mengalihkan pandangan dari gadis dihadapannya. Tanpa meminta persetujuan, ia menukar vanilla lattenya dengan secangkir kopi Espresso gadis itu. "Hei! Kembalikan kopiku!" Protes gadis itu, tidak terima seraya mengulurkan tangan untuk mengambil Espressonya kembali. Tetapi gadis itu kurang cepat dengan tangan pria di hadapannya. Pria itu kini menyeruput kopinya hingga habis. "Tidak. Aku yakin hari ini kau sudah minum lebih dari 3 cangkir kopi ini. Aku sudah bilang kepadamu berungkali, kopi ini tidak baik untukmu." Ucap pria itu kemudian setelah menghabiskan kopinya. "Dan memangnya kenapa kalau aku muncul di hadapanmu?" pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan lalu melanjutkan kata-katanya, "Aku masih kekasihmu kan, sayang?" Gadis itu tidak menjawab. Ia malah mengalihkan pandangannya lagi ke vanilla latenya, sembari mengetuk-ngetukkan sendok ke cangkir. "Bodoh." Ia tak menanggapi gumaman pria dihadapannya. "Sayang, kau menggenggam terlalu erat sendokmu." Nada suaranya seperti membujuk anak kecil yang takut disuntik dengan ekspresi wajah yang dibuat-buat sehingga menjadi berkali lipat menyebalkan. Tetapi pria itu mengambil alih sendok dan menggenggam erat tangan gadisnya. "Tari, dengar. Aku tahu akhir-akhir ini kau sibuk sekali dengan skripsimu. Tapi, bisa tidak kau perhatikan kondisimu juga? Lihat," Pria itu mengusap cekungan hitam di bawah mata gadisnya lalu melanjutkan kalimatnya, "Kau semakin terlihat jelek, tahu." Tari berusaha melepaskan tangan yang digenggam oleh kekasihnya tetapi semakin ia memberontak genggaman di tangannya semakin kuat, sehingga ia menyerah. Dengan sinis ia menjawab "Kalau begitu, kenapa kau tidak mengencani gadis lain yang tidak ada cekungan hitam di bawah matanya?" Tawa pria itu meledak. Sungguh, raut wajahnya berkali-kali lipat menjadi tampan. "Oh, bolehkah?" tanya pria itu setelah berhasil menghentikan tawanya yang diganti dengan cengiran lebar. Melihat wajah gadisnya yang semakin kusut ia tersenyum lalu mengacak-acak rambut gadis di hadapannya, "Tidak, sayang. Bukan begitu maksudku. Kau terlalu mempekerjakan tubuhmu terlalu keras. Aku tahu sidang semakin dekat, tetapi tolong perhatikan kesehatan tubuhmu juga." sembari menyenderkan punggungnya ke kursi , pria itu melanjutkan kalimatnya dengan nada seperti di telephone tadi. Dingin. "Mengapa kau sampai menggigil seperti tadi?" Tari hanya diam dan memutar bola matanya malas. Melihat reaksi Tari seperti itu pria itu menegakkan tubuhnya dan berkata dengan suara rendah, "Tari aku serius. Aku sudah mengingatkanmu setiap hari, tetapi mengapa kau tidak pernah peduli? Kau tidak tahu bagaimana rasanya ketika aku melihatmu menggigil kedinginan, gemetar dari kepala sampai kaki! Aku tahu kau tidak bodoh untuk menganggap peringatanku hanya basa-basi. Untung aku membawakanmu jaket tadi. Coba saja jika kau besok masih berulah seperti ini aku akan mengantar dan menjemputmu setiap hari ke kampus." Pria itu menyeringai melihat wajah kekasihnya yang menahan kesal. Tetapi gadis itu berkata dengan datar, " Ya baiklah. Aku minta maaf, oke? Aku berjanji akan menjadwal ulang aktivitasku sehingga kau dapat memastikan aku mendapat istirahat yang cukup. Puas?" "Aku akan sangat puas jika kau menempati janjimu. Dan habiskan Vanilla Lattemu"

Pria itu melihat ke jendela sekilas, hujan sudah reda. "Baiklah mari kita pulang sekarang." Bersama-sama mereka menegakkan tubuh sehingga berdiri, sang pria menjulurkan tangan yang dibalas genggaman tangan oleh Tari. "Damar?" pria itu menunduk, memandangi Tari. "Ya?" "Kau tidak perlu mengantar dan menjemputku di kampus." Damar hanya tersenyum dan mulai melangkah menuju pintu café lalu berkata, "Yah, aku tidak bisa berbuat hal lain kan jika kau melakukan perbuatan bodoh lagi?"

The days with youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang