I.1

22 2 1
                                    

Getaran mesin pesawat, membuat Renjun menarik napas dalam-dalam. Pesawat belum bergerak, hanya mesinnya yang sudah membuatnya paranoid. Ini adalah salah satu hal memalukan yang harus dihadapinya, setiap kali naik pesawat.

Renjun mencoba tenangkan diri setelah menempati kursinya yang di dekat jendela itu. Diliriknya kursi di tengah yang masih kosong, dan kursi yang di tepi ada seorang pria paruh baya yang duduk dengan ekspresi serius menatap ke depan. Jangan-jangan punya ketakutan juga naik pesawat, pikirnya menilai keseriusan penumpang tersebut. Ah, bukan dia saja yang takut naik pesawat, pikirnya membela diri. Lalu jika nanti ingin keliling dunia bagaimana? Ejek teman-temannya saat SMA, yang dijawabnya dengan santai. Kapal pesiar!

Phobia ketinggian harus bisa dihadapi Renjun karena keputusan yang sudah dibuatnya saat kuliah di Bandung, kedokteran UNPAD. Ketika dia lulus tes di universitas negeri itu, orang tuanya sampai membuat syukuran, mengundang semua keluarga dan tetangga se-RT. Ketika dia lulus sarjana kedokteran, orang tuanya membuat syukuran, mengundang nyaris sekompleks rumah mereka, teman kantor, selain keluarga besarnya. Dan statusnya yang masih lajang pun jadi incaran para orang tua yang ingin sekali punya menantu dokter. Sepertinya dokter masih jadi urutan teratas untuk dijadikan calon menantu? Padahal tak mudah untuk bisa menjadi pasangan seorang dokter yang membaktikan hidupnya tanpa kenal waktu.

Saat ini Renjun benar-benar pulang, kembali ke kota asalnya, Pontianak, karena selesai PTT di sebuah kota kecil di Nusa Tenggara Timur, keinginannya untuk bekerja di rumah sakit daerah di Singkawang ternyata terwujud. Dia diterima. Senior setahun di atasnya, yang juga sahabatnya selama kuliah, Jeno, dan sudah duluan magang di rumah sakit daerah Singkawang tersebut membantunya bisa dapat tempat.

Selain Jeno, ada Jaemin yang kuliah di kampus yang sama dengan Renjun, jurusan Sastra Inggris, yang menjadi sahabatnya sampai hari ini, dan nanti akan menjemputnya ke bandara. Jaemin setelah lulus masih bingung mau kerja di Pontianak, Bandung, atau Jakarta. Sementara ini, katanya ingin di Pontianak dulu, bergabung dengan salah satu radio swasta di Pontianak. Dan Jaemin dengan heboh kemarin di telepon bilang akan menjemputnya ke bandara. Ya, itu lebih menyenangkan, dibanding supir keluarganya yang menjemputnya, pikirnya sambil menarik napas dalam-dalam karena getaran pesawat semakin terasa. Apa mesinnya ada yang tidak beres? Aduh, ini semakin menegangkan, jeritnya dalam hati. Pesawat-pesawat domestik memang lebih terasa goncangannya, dan jika terbang sendirian begini, membuat kecemasannya lebih terasa. Tidak berapa lama, seorang pria muda datang tergesa-gesa dan duduk di kursi tengah yang tadinya kosong. Di sebelah Renjun.

"Maaf, permisi," kata pria itu dengan tersenyum kecil pada Renjun.

Renjun mengangguk kecil. "Oh, silakan," katanya dengan suara tercekat dan berusaha tersenyum, namun bisa merasakan bibirnya tidak bisa ditarik untuk tersenyum akibat perasaan tegang dengan getaran pesawat yang makin kuat. Setelah beberapa menit, ada pengumuman bahwa pesawat akan take off. Lalu ditegakkannya punggung karena perasaannya mulai tegang, dan matanya pun terpejam dengan dahi mengkerut.

Getaran pesawat yang semakin terasa saat pesawat melaju di landasan pacu, membuat Renjun semakin tegang dan nyaris menahan napasnya. Lalu didengarnya suara berat yang berbicara didekat telinganya.

"Mas, tarik napas yang dalam..."

Renjun pun menuruti perintah suara itu, dengan mata yang tetap terpejam. Seingatnya tadi pria di sebelahnya ini terlihat lebih tua darinya, kenapa memanggilnya 'mas?' Ya, sudahlah, itu sebutan umum di negeri ini, pikirnya sambil mencoba menarik napas yang lebih dalam lagi. Punggungnya yang tegang, diangkatnya untuk menarik napas dalam-dalam.

"Keluarkan napasnya sekarang pelan-pelan, coba tenangkan pikiran ya, Mas." Kepala Renjun tanpa sadar mengangguk, mengikuti perintah laki-laki yang duduk di sebelahnya itu. Pesawat sudah dirasakannya melayang, terbang di udara. Perlahan dibukanya sedikit matanya, ingin melirik sejenak keluar jendela, mencoba untuk menatap langit pagi di atas Jakarta. Lalu dia tersentak kala laki-laki di sebelah kirinya itu berdehem dan menepuk lembut lengannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TANGGA LANGIT ; NORENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang