1. Mr. Felice

370 12 6
                                    

"Buket bunganya terlihat lebih cerah kalau dikemas seperti ini."

Pelanggan itu tersenyum cerah sambil memegang buket bunga kecil. Buket bunga itu mekar sempurna, dan itu adalah sesuatu yang Isaac sukai. Jarang ada pelanggan yang memuji pengemasannya, jadi Isaac tidak bisa menghentikan sudut bibirnya yang merekah. Sungguh suatu kebanggaan karena kini Isaac merasa telah menjadi pemilik toko bunga yang sesungguhnya.

"Terima kasih. Sampai berjumpa kembali."
"Terima kasih kembali."

Pelanggan itu memberi salam singkat lalu berjalan pergi sambil membawa buket bunga di dadanya. Suara langkah kakinya yang ringan memenuhi seluruh sudut ruangan yang diterangi sinar matahari itu. Saat Isaac memikirkan betapa indahnya suara itu, pelanggan yang beranjak pergi tadi tiba-tiba mengatakan 'Oh, permisi.'. Baru saat itulah Isaac mengangkat matanya dan menyadari bahwa ada seseorang yang sedang berdiri di ambang pintu.

Isaac bertanya-tanya apakah karena dia terlalu fokus merangkai bunga sampai-sampai dia tidak sadar bahwa ada pelanggan lain yang datang. Harusnya seperti itu. Namun orang yang sedang bersandar di ambang pintu itu bukanlah pelanggan biasa. Sayangnya, orang itu punya kemampuan hebat dalam menyembunyikan kehadirannya, dan Isaac tahu itu lebih dari siapapun. Kali ini pun begitu, orang ini pasti menyembunyikan kehadirannya.

Pria tinggi yang sedang bersandar di ambang pintu sambil menyilangkan tangannya itu, menepuk bahu dan menatap kesal pelanggan yang melewatinya. Pelanggan yang merasa terintimidasi itu hanya mengangkat bahunya dan berjalan keluar sambil memegang buket bunga di tangannya, namun mata biru Prussian yang dingin itu sama sekali tidak mengalihkan pandangannya pada pelanggan tersebut.

"Felix."

Isaac, yang merasa tidak enak hati, memanggil nama Felix, dan Felix mengalihkan pandangan kesalnya ke arah Isaac.

"Kenapa kau tersenyum kepada sembarangan orang?"

Itu adalah pertanyaan pertama yang diajukan. Felix mulai melontarkan tuduhan konyol, sehingga suasana menjadi tidak biasa. Isaac berdiri di dalam konter dan dengan tenang memandang Felix yang nun jauh di sana.

"Karena dia adalah pelanggan."
"Kau tidak tersenyum seperti itu saat aku jadi pelanggan waktu itu."
"Memangnya dulu ada waktu untuk melakukan itu?"

Itu bukanlah sebuah kesalahan. Keributan macam apa ini di saat Felix tiba-tiba saja datang. Isaac menghela nafas diam-diam, tapi ekspresi Felix semakin muram.

"Kenapa kau membeda-bedakan orang? Waktu aku pertama kali datang, kau bertingkah seperti batu! Jadi ketika orang lain datang, kau juga harus bersikap seperti batu. Kenapa sekarang kau malah tersenyum manis begitu? Huh?"
"...Apa saat ini kau sedang cemburu dengan seorang pelanggan?"
"Iya, aku cemburu. Tidak boleh? Apa yang harus kulakukan ketika kau tersenyum manis kepada bajingan lain?"

Felix menunjukkan kecemburuannya yang tiada habisnya itu, dia terus-terusan berteriak tanpa rasa malu.

"Felix......"

Isaac memanggil nama Felix dengan helaan nafas. Namun, semakin Felix mendekat, semakin jelas terlihat wajah 'kesal'nya. Isaac menelan air liur ke dalam tenggorokannya. Sepertinya suasananya tidak bagus. Kalau seperti ini terus, Isaaclah yang akan rugi....

"Isaac, kalau kau tetap bertingkah nakal kepada pelanggan atau bahkan membuat mereka tertawa, mungkin aku akan memindahkan ruang kerjaku ke sini."
"Apa-apaan itu-"
"Pasti enak sekali bisa kerja di tengah-tengah toko bunga. Di sini wangi, dan di sampingku ada omegaku yang lebih cantik dari bunga. Itu akan sangat luar biasa."

Kenapa Felix sampai kepikiran hal itu? Dari sikapnya hingga caranya berbicara, Felix tidak jauh berbeda dari preman komplek sekitar sini. Namun, berbanding terbalik dengan nada kesal dan matanya yang dingin, sudut mulut Felix sedikit melengkung ke atas. Itu adalah ekspresi yang memberikan kesan krisis gawat darurat, namun hanya dengan sedikit senyuman membuatnya sulit untuk melepaskan pandangan kepadanya.

Love, Benjamin 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang