03 - bunga

602 127 19
                                    

Sepeninggalan Powl, Nabila hanya bertemankan kesendiran dan berkawankan bunyi dari tetesan infus yang mendominasi gema di ruangan ini. Tak lupa, benda-benda mati yang mengisi ruangan ini, seakan memiliki mata dan menatap lekat ke arahnya. Menyeramkan. Namun bukankah itu hal lumrah yang mendiami kesunyian?

Tak banyak hal yang dapat ia lakukan. Ia mungkin merasa bahwa dirinya sudah lebih baik dari sebelumnya namun hal itu tak ditunjukan oleh kondisi raganya. Masih sulit baginya bahkan hanya untuk sekedar merubah dari posisi tidur menjadi duduk, pun sebaliknya.

Mendapati benda pipih yang sudah jarang tersentuh, Nabila meraih telepon genggam miliknya yang terletak di meja dekat tempat tidurnya. Tidak banyak hal yang ia lakukan di sana. Bahkan aplikasi favoritnya sudah lama tak ia kunjungi. Mungkin sudah banyak kabar dari cuplikan insta story temannya yang ia lewatkan. Seingatnya, hal terakhir yang ia lakukan di sana hanyalah membalas pesan ucapan maaf dari tante Rika yang saat ini belum bisa menemaninya.

Tante Rika harus berangkat ke Belanda untuk mengurusi berbagai persoalan perusahaan papanya disebabkan kematian yang tiba-tiba pada pemilik perusahaan. Nabila tidak mempermasalahkan tentang tante Rika yang belum bisa menemaninya saat ini. Malahan Nabila berterima kasih atas dedikasi yang tante Rika berikan untuk keluarganya juga perusahaan papanya.

Membiarkan matanya kembali berselancar pada benda pipih itu, fokus Nabila terpecah tatkala sebuah suara datang dari pintu masuk. Menampilkan Raya dan satu orang laki-laki di belakangnya. Mereka berjalan menghampiri Nabila. Raya, sedikit berlari kecil meninggalkan laki-laki di belakangnya karena sudah menaruh rasa rindu yang berat pada Nabila, sahabatnya.

"Nab!!!" panggil Raya menyeru. Ia langsung menabrakkan tubuhnya pada tubuh Nabila, memeluknya erat hingga sedikit mengenai selang infus di tangan kanan Nabila.

"Rayyy infus guee!" Protes Nabila ketika Raya memeluknya semakin erat.

Mendengar itu, Raya sontak melepas peluknya dan membantu membenarkan kembali posisi selang infus pada tangan Nabila. Sembari tersenyum dan mengucapkan kata maaf.

"Lo kenapa nangis?" Tanya Nabila ketika mendapati mata Raya yang terlihat berkaca-kaca.

Melekukkan bibirnya hingga membentuk huruf u terbalik, "lagian siapa suruh lo sakit" Pungkas Raya dengan wajah cemberut yang ia buat.

Nabila menyunggingkan tawa melihat tingkah sahabatnya, "mana ada orang yang mau sakit ray, kalau gue bisa milih gue juga gak mau kayak gini" Balas Nabila tersenyum ke arah Raya.

Raya kembali memeluk Nabila. Dalam pelukan tersebut ia berhasil meloloskan satu bulir air mata. Walaupun belakangan ini mereka jarang menghabiskan waktu bersama namun tak sedikitpun membuat goresan pada janji persahabatan yang sempat mereka gumamkan. Membersamai, menemani, dan menasehati. Tiga kata lantang yang mereka suarakan waktu itu.

"Udaahh, gue gak apa-apa." Mengusap punggung Raya, Nabila meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja.

"Btw kenapa lo bisa kesini bareng leo?" Tanya Nabila.

Ya, laki-laki yang berjalan di belakang Raya memasuki ruangan ini adalah Leo. Seseorang yang pernah mengisi masa lalu dan hampir mencipta runtuh dalam hubungannya.

Tidak, leo tidak bersalah waktu itu. Nabila lah yang bersalah. Ia lalai dalam menjelaskan dan memberitahu kesalahpaham yang terjadi antara dia dan juga Powl. Namun kini tidak lagi sebab semua sudah dijelaskan dan seharusnya tidak ada lagi pertikaian. Semoga, kembali merapalkan doa.

Raya baru tersadar, akibat terlalu excited bertemu Nabila ia sampai melupakan Leo yang datang bersamanya.

Tidak ada janji yang mereka buat untuk datang bersama sebelumnya. Kebetulan yang hadir membuat mereka bertemu di parkiran sebelum melanjutkan kembali ke muara akhir perjalanan. Ruangan ini. Tempat dimana Nabila menyembuhkan diri.

One of Seraya's DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang