NINA.
"Aku mau tunda study-ku dan semua course selama setaun kedepan, karena aku mau pindah ke Bandung dan kuliah disana. Aku juga mau Ayah kasih izin untuk aku punya pacar. Itu kado Ayah untuk ulang taun aku yang ke-18."
Ternyata setelah gue menyampaikan kado yang gue inginkan, bukan cuma Ayah yang ngga percaya dengan permintaan gue, tapi diri gue sendiri pun ngga percaya kalau akhirnya gue berani untuk memintanya langsung ke Ayah.
Gue pikir, semua keinginan itu, cuma akan berakhir di pikiran gue seperti biasanya. Gue seberani... gue ralat, gue ngga seberani itu, tapi gue senekat itu.
Setelah Ayah mendengarkan permintaan gue yang cukup gila itu, untuk sepersekian detik, Ayah cuma diam ngga percaya sambil menatap gue, dan setelahnya hanya menggelengkan kepalanya sambil memastikan kepada gue kalau gue ngga lagi becanda.
Saat ini, gue paham betul kalau Ayah sedang berusaha untuk memberikan pengertian kepada gue, bahwa semua permintaan gue cukup ngga masuk di akal. Ya memang betul, gue akui itu.
Dimulai dari gue yang sebenarnya sudah diterima di salah satu sekolah fashion terbaik di New York, namun gue malah memutuskan untuk memberitahukan pihak kampus bahwa gue akan men-defer acceptance gue menjadi di tahun depan dan akan memulai perkuliahan gue di salah satu Universitas Swasta di Bandung, lebih tepatnya di Universitas Karya Bangsa (UKarSa), dengan jurusan yang sama yaitu Fashion Business.
Karena sebenarnya selama ini, di belakang Ayah, gue sudah mendaftarkan diri di UkarSa melalui jalur tes mandiri. Bahkan saat ini gue lagi memperlihatkan College Acceptance Email dari UKarSa kepada Ayah karena Ayah masih ngga percaya bahwa gue sudah menyiapkan semuanya di Bandung.
Selanjutnya, dengan segala kehidupan yang menyenangkan yang gue miliki saat ini di New York, Ayah sangat ngga menyangka kalau gue rela meninggalkan itu semua demi tinggal di Bandung. Padahal jelas-jelas gue memilih Bandung karena Bandung adalah tempat kelahiran Ayah sekaligus kota dimana Ayah menghabiskan masa mudanya.
Di Bandung pun, semua keluarga besar Ayah tinggal di sana. Jadi seharusnya Ayah ngga perlu terlalu khawatir karena akan ada keluarga besar disana. Gue ngga akan benar-benar sendiri kok, terlebih lagi di Bandung akan ada Bara, sepupu yang paling dekat dengan gue. Bara juga menjadi salah satu alasan gue memilih UKarSa, karena Bara kuliah di kampus tersebut.
"Nina, you kidding, right? Sudah kamu mau pindah hidup di Bandung, kamu pun ngga mau tinggal sama keluarga Bara atau Kakek? Kamu malah mau tinggal sendiri di apartemen?"
Ayah udah mulai manggil gue dengan nama, biasanya Ayah akan selalu memanggil gue dengan sebutan "Ade". Nama gue akan keluar dan disebutkan oleh Ayah jika situasinya memang sudah sangat serius dan ngga menyenangkan. Itu betul.
"Kamu mau hidup sendiri, jauh dari Ayah, dan diizinkan untuk punya pacar? Nina, I think you need to come to your sense, now."
"I don't want to come to my sense now. Sekali aja, Yah, izinin aku lakuin apa pun yang aku mau, walaupun semuanya kedenger ngga masuk akal. But let it be. Biarin nanti aku yang tanggung jawab sama semua pilihan aku."
Fashion business, sekolah fashion terbaik di New York, kehidupan di New York, gue yang ngga pernah pacaran sekalipun; semua itu karena ada Ayah di balik layar.
Di umur gue yang ke-18 ini, gue lupa, terakhir kali kapan gue jalanin sesuatu berdasarkan pilihan gue. Yang gue inget adalah Ayah yang selalu berhasil ngeyakinin gue bahwa pilihan dia yang terbaik. Walaupun sebenernya selalu ada diskusi, tapi ujung-ujungnya, diskusi itu akan berakhir dengan pilihan Ayah sendiri. Gue pun ngga ngerti, dari dulu, Ayah selalu punya caranya biar gue bisa lakuin pilihan dia. Setiap kali gue kecewa karena lagi-lagi pilihan Ayah yang harus gue jalanin, akhirnya gue selalu berpikir bahwa memang mungkin pilihan Ayah yang terbaik.
Bahkan untuk hal yang gue suka sekalipun, hal itu terjadi karena Ayah yang pengen, agar gue menyukai hal tersebut. Bukan 100% karena sedari awal gue suka. Termasuk urusan cowok, somehow, Ayah selalu bisa convince gue kalau cowok yang deketin gue itu bukan yang terbaik, sampe akhirnya gue ngga pernah punya pacar. Mungkin deket cuma 1 atau 2 bulan, setelah itu selalu selesai. Mungkin itu juga salah satu cara Ayah biar gue ngga pacaran dulu. Dan masih banyak hal lainnya yang diputuskan sama Ayah.
Sampai akhirnya gue terbiasa. Gue terbiasa untuk selalu nerima ketika semuanya udah siap. Gue jadi terbiasa hanya menjalankan, tanpa memutuskan.
Semua perasaan gue tersebut, yang gue pikir hanya akan ada di hati dan otak gue aja, malam ini berhasil gue keluarkan semuanya ke Ayah.
Selama setahun ini, gue sudah berusaha sekeras mungkin untuk bisa lakuin semua rencana yang sudah Ayah buat, tanpa keluhan sedikit pun. Tanpa ada hadiah yang biasanya selalu gue minta. Untuk apa? Untuk bisa ungkapin semua yang gue rasa. Untuk bisa dengan lantang mengeluarkan permintaan-permintaan gila gue ini.
"Biarin aku untuk buat keputusan, kalau pun dari keputusan aku ternyata jadi kesalahan, tolong biarin, karena nanti aku yang bakal tanggung jawab, semuanya. Aku cuma perlu Ayah percaya sama aku."
Untuk segala kasih sayang, kebahagiaan, kehidupan, dan fasilitas yang udah Ayah kasih selama ini untuk gue, ternyata ada satu hal yang Ayah lupa untuk beri, kepercayaan.
Dan sekarang, gue menuntut kepercayaan itu dari Ayah.
"Fine. I'll let you do it. Whatever it is. Apa pun hal-hal yang ngga masuk akal yang tadi Ade sudah mention, Ayah izinkan. But remember 3 things, it's only 1 year, pendidikan Ade tetap nomor 1, dan jaga kepercayaan Ayah."
***
Percakapan panjang pada malam itulah yang membawa gue dengan kehidupan baru gue di Bandung.
Walaupun kehidupan baru gue ini membuat Bara harus mengelus dada untuk lebih bersabar, karena secara tegas Ayah menitipkan gue kepada Bara. Bukan tanggung jawab yang kecil jika Ayah sudah mempercayakan sesuatu kepada seseorang, khususnya putri semata wayangnya.
Setelah mendengarkan omelan Bara di telepon kurang lebih 1 jam karena saat ini merasa sangat terbebani dengan bertanggung jawab atas kehidupan gue di Bandung, akhirnya Bara pun memilih untuk mencoba, dengan segala ancamannya :)
Ngga bohong kalau gue sangat berharap keputusan ini bukanlah suatu kesalahan. Pun, hanya setahun gue akan menjalani kehidupan ini. Memangnya kesalahan sebesar apa yang bisa gue lakukan dalam waktu setahun?
Karena kehidupan di Bandung ini cuma sementara, gue hanya perlu menghabiskan waktu yang langka ini sebaik mungkin. Gue hanya perlu menikmati waktu ini sebisa mungkin.
So...
Say goodbye for a while to New York.
Say hi to Bandung.
*****
Little Notes
- Thank you untuk seluruh pembaca yang sudah mampir ke cerita ini. Jangan lupa untuk di vote juga ya :)
- Sebenarnya cerita ini pernah aku post di tahun 2022, tepatnya sekitar bulan Oktober. Tapi dengan segala pertimbangan, aku coba perbaiki lagi agar bisa lebih baik daripada yang sebelumnya.
- Diingatkan kembali, seluruh karakter yang ada di cerita ini adalah fiksi serta tidak ada kaitannya dengan aslinya. Seluruh karakter yang aku pilih karena pas dengan visualisasi yang aku bayangkan selama ini. Semoga seluruh foto & karakter di cerita ini bisa membantu kalian memvisualisasikannya juga ya.
- Aku akan post chapter baru, setidaknya 1 kali seminggu di setiap weekend. Jadi chapter terbaru akan available di setiap hari Sabtu atau Minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wave Trip
RomanceNina dengan segala pertama kalinya. Rai dengan segala kesadarannya. Kema dengan segala perubahannya. Dan yang lain, dengan segala ceritanya. credit, cover: Canva.