1

349 29 4
                                    

Matahari belum menampakkan cahayanya, tapi pemuda yang meringkuk dibawah selimut itu sudah terbangun. Ia merasa terganggu dengan suara yang ditimbulkan oleh pemuda yang lebih dewasa.

"Phi Ping." Panggil pemuda itu sambil beranjak duduk dengan malas. Slimut tak lagi menutupi tubuh telanjangnya. Dilihat dari banyaknya tanda merah di tubuhnya, sudah jelas bahwa semalam adalah malam yang panas bagi mereka berdua. "Kau sudah mau pergi?" tanyanya dengan suara yang masih serak.

Pemuda yang lebih dewasa, yang sedang sibuk mengancingkan kemeja sambil duduk disisi ranjang menoleh, memberikan senyum tipis sebelum membelai rambut halus yang lain.
"Hm. Semalam aku tidak pulang. Banyak sekali panggilan dari ibuku. Aku akan pulang dulu agar dia tidak cemas."

Melihat bulu mata cantik yang lain terkulai, Ping memeluknya. "Nut, jangan marah, oke?" Bujuknya.

Nut melerai pelukan Ping. Raut wajahnya sudah menjadi asam karna kekesalan. "Kita baru bisa bertemu setelah seminggu kau sibuk. Kemarin kau menghabiskan waktu dengan keluargamu'kan. Bukankah sekarang adalah waktu untuk kita?"

"Aku tau." Sahut Ping. Dia mengusap lengan Nut dengan lembut berharap bisa menenangkan kekasihnya. "Tapi kesehatan ibuku sedang tidak baik. Aku tidak bisa membuatnya khawatir atau dia akan semakin buruk. Tolong mengertilah!"

"Kapan aku tidak mengerti?" Nut terlihat semakin kesal setelah mendengar penjelasan Ping yang itu-itu saja. "Aku selalu mengerti bahwa ibumu hanya tidak ingin kau bersamaku."

Nut mendorong Ping menjauh lalu turun dari ranjang, mengambil celana dalamnya dilantai dan memakainya. "Setiap kau bersama denganku, ibumu selalu mencari alasan agar kau pergi dariku. Seperti sekarang juga. Kau hanya datang padaku untuk tidur denganku. Kau hanya datang saat kau ingin bercinta."

Semakin Nut bicara, semakin dia menjadi emosi. Ping juga menjadi terpancing emosi. Setiap mereka bertengkar, Nut selalu menyalahkan ibunya. Menurutnya Nut tidak mengerti bahwa ibunya masih kecewa putranya bersama seorang pria, jadi Nut harus memahami jika Ping perlu membujuk ibunya lebih lama. Harusnya Nut mengerti, tapi dia tidak.

Ping bangkit dari ranjang. Meraih jaketnya diujung tempat tidur sebelum memberi sedikit pelukan untuk Nut.
"Jangan berdebat lagi. Aku janji setelah semua pekerjaanku selesai, kita akan pergi berlibur. Hanya kita berdua." katanya.

Nut membuang wajah tanpa mengatakan apapun.

Ping mengambil dompet di saku celananya dan mengambil amplop coklat untuk diberikan pada Nut. "Ini untukmu, bersenang-senanglah dan jangan marah lagi. Oke?"

Nut tidak merespon, akhirnya Ping memaksa memasukkan amplop itu ketangan Nut.

"Aku pergi!" Pamit Ping lalu mengecup pipi Nut. "Tidur lagi jika masih mengantuk." ucapnya sebelum benar-benar pergi dari kamar apartment mereka.

Tinggalah Nut sendirian untuk kesekian kalinya. Matanya terpejam lelah. Tangannya meremas amplop yang diberikan Ping, kemudian melemparkannya ke dinding dengan seluruh kekesalannya.

Nut merasa begitu lelah dengan semua ini. Mungkin memang benar apa yang dikatakan ibu Ping bahwa Ping hanya melihatnya seperti mainan. Jika dia tidak bahagia, Ping hanya perlu memberinya uang untuk membujuknya. Tapi Ping tidak akan pernah mengakui dia didepan orang lain. Selama 3 tahun ini, dialah yang bodoh sudah menganggap serius hubungan mereka. Ping menyimpannya karna Ping suka tidur dengannya, karna dia bisa memuaskan Ping. Dia bukan apapun selain penghangat tempat tidurnya.

Nut merosot ke lantai. Air matanya perlahan berlomba untuk jatuh. Hingga akhirnya dia tak mampu menahan isak tangisnya. Tiga tahunnya bagai sia-sia belaka. Kenapa dia begitu bodoh mengira hubungannya dengan Ping adalah sesuatu? Semuanya hanya angan-angannya sendiri. Selama ini dia bertahan dihina, tapi keluarga itu tetap tidak bisa diluluhkan. Tidak akan bisa!

UNHAPPYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang