Jeva mengusap-usap kepala kucing hitam itu yang duduk di pangkuannya. Senyumnya merekah, menatap si kucing yang tertidur nyaman. Jeva memang tak punya teman di sekolah ini. Lebih tepatnya tidak ada yang ingin berteman dengannya. Tentu saja karena ia miskin dan masuk sekolah bergengsi ini berkat beasiswa. Ia memilih sekolah ini karena akreditasinya yang bagus dan lulusannya cukup banyak yang masuk ke universitas impiannya. Meskipun dulu ia sempat beberapa kali dirundung karena miskin, orang-orang itu mendadak tak lagi mengusiknya semenjak ia sering membawa nama sekolah ini semakin dikenal berkat prestasinya. Tapi, tentu saja urusannya tak selesai di situ karena ada Yunah yang selalu mengusik dan berusaha menyingkirkannya.
"Maaf, ya, aku lagi hemat. Jadi, aku nggak bisa beli sosis buat kamu kayak biasanya." ucapnya pada si kucing hitam yang ia beri nama Pollo.
Suara tawa yang berisik dan heboh pun merenggut atensinya. Jeva menoleh, menatap rombongan gadis yang lewat di belakangnya. Di antara gadis-gadis itu terdapat Yunah yang tertawa terbahak-bahak, lalu tak sengaja matanya bertemu dengan mata Jeva yang memandangnya. Tawa gadis itu mereda, lalu memalingkan mukanya ke arah lain. Jeva terus memandang gadis-gadis itu dan satu hela napas kasar terembus. Yunah dan keempat temannya adalah yang terkaya di sekolah ini dan orang tuanya sebagai penyumbang dana terbesar di antara siswa lainnya. Mereka yang paling berkuasa dan kadang mengganggu murid lain, kecuali Yunah. Tentu saja karena gadis itu hanya fokus pada Jeva dan mencari seribu satu cara untuk mengalahkannya. Yunah juga sibuk belajar dan bimbel sana-sini. Dia tidak punya waktu untuk mengganggu siswa lain seperti teman-temannya. Lagipula itu tidak memberi keuntungan apapun baginya.
"Meskipun orang tuanya keras, seenggaknya dia beruntung terlahir dari keluarga sendok emas. Masa depannya juga udah rapih diatur orang tuanya." gumam Jeva, tersenyum hambar.
Nyatanya, tanpa Yunah ketahui, Jeva juga berusaha dengan keras. Hanya saja gadis itu tak menunjukkannya dan menyembunyikannya rapat-rapat. Jeva juga belajar mati-matian, apalagi ia juga tak cukup mampu membeli buku latihan soal atau hal-hal lainnya yang mendukung pembelajarannya. Tak seperti Yunah yang semuanya difasilitasi dan diatur rapih oleh orang tuanya. Meski sebetulnya Jeva cukup terbantu dengan bayaran Ibu Yunah dan dirinya yang diikutkan les di tempat mahal.
"Woi!"
Jeva mengangkat kepalanya, mendapati presensi Yunah yang berdiri tak jauh di sampingnya. Jeva reflek merotasikan bola matanya. Manusia mana lagi yang memanggilnya seperti itu kalau bukan si gadis yang arogan itu? Jeva tak menghiraukan, lalu telinganya mendengar derap langkah Yunah yang mendekatinya.
"Lo dipanggil Bu Nia tuh ke ruang guru." katanya menyampaikan informasi. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku rok, sementara matanya menatap datar ke arah sang lawan bicara.
"Bohong ya lo?"
Yunah melotot tak terima. "Apaan, sih, bego?? Ngapain gue rela-relain jalan ke tempat panas gini cuma buat nyamperin lo kalo bukan karena disuruh??"
"Bercandaaa. Santai, dong." desis Jeva. "Kenapa gue dipanggil?"
"Kayaknya tentang lomba lagi."
Jeva mendecak kesal dan keningnya berkerut dalam, "Ck! Gue kan udah bilang nggak mau ikut gituan lagi."
"Ya mana gue tau?? Lo ngomong sendiri lah sana! Ribet banget."
Jeva lantas pergi dari sana dengan langkah malas-malasan dan sedikit sempoyongan karena pusing di kepalanya. Yunah yang masih berdiri di sana pun tak menunjukkan tanda-tanda pergi dari tempat yang katanya panas ini. Kedua matanya menatap pohon ceri yang besar itu, yang menaunginya dari teriknya sinar mentari. Ia akhirnya duduk di bawah pohon tersebut, beralih menatap Pollo yang tengah menjilat-jilat tubuhnya sendiri. Sejenak, Yunah merasa tenang dan damai. Tempat ini terasa nyaman. Pantas saja Jeva sering menghabiskan waktunya di sini. Lalu, dengan ragu-ragu ia berusaha menyentuh Pollo, takut tiba-tiba kucing itu menggigit atau mencakarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rival | Jeenah [HIATUS]
FanfictionYunah akan menjawab dengan lantang jika ditanya siapa orang yang paling ia benci, dan itu adalah Jeva. Menganggap gadis itu sebagai akar dari penderitaannya dan sosok yang harus ia singkirkan. Yunah selalu berharap Jeva terjatuh, berusaha keras agar...