2 | Ultimatum

84 32 7
                                    

Jika senyummu lebih indah dari pelangi...
Lantas, aku bisa apa selain jatuh hati?

"VAL, Val, Val. Gue punya kenalan." Novel menghampiri meja kantin yang dihuni sahabatnya seorang tengah menikmati makan siang. Kantin itu tidak terlalu ramai, hanya ada murid sekelas mereka karena hari ini free class. "Dia katanya jomblo, dan... lagi pengen cari pasangan. Lo mau gue kenalin, nggak?"

"Nggak." Vanila sibuk mengkrikiti ceker di seblaknya.

"Buset, gercep amat jawabnya," heran Novel heboh sendiri. "Lagi, nih. Ada adek kelas, katanya suka sama lo sejak lo bantuin dia ngerjain Matematika di perpus--"

"Nggak, Vel, nggak." Satu helaan nafas meluncur dari bibir Vanila. Kini jemarinya sibuk mengelap mulut dengan tisu. "Di hati gue tuh cuma ada mahasiswa itu." Dia mengucapkan kalimat itu tanpa ragu, tak lupa menyelipkan senyum bangga.

"Astagfirullahal'azim...., Ya Allah, sadarkanlah sahabat saya ini bahwa mereka nggak mungkin bersatu, bagaikan langit dan bumi." Novel mengadahkan tangan memelas kepada Tuhan. Sumpah, tidak ada malu-malunya sama sekali. Padahal mah kalau kata Vanila, Novel jarang meminta-minta kepada Tuhan, kecuali dalam keadaan terdesak, baru ingat.

"Kayak judul lagu?" Vanila mengerjap mendengar 'langit-bumi' yang Novel ucapkan.

"Langit bumi bersaksi...."

"Stop, nggak usah diterusin," sergah Vanila sembari menutup kedua telinganya, seketika menyesal mengingatkan judul lagu.

"Kenapa kampus ITB jurusannya dua doang, sih?" tanyanya tiba-tiba begitu tatapannya jatuh pada layar ponsel yang dimainkan di tangan sebelah mangkuk seblaknya.

Novel yang menyeruput es choco drink Vanila tanpa izin mengerjap ke arahnya, bertanya, "Emangnya kenapa?"

"Gue, kan, pengen sastra," aku Vanila. "Di sini cuma ada akuntansi sama manajemen doang. Bisa keriting nih rambut gue ngeliatin angka." Vanila menaruh ponselnya di meja dan lanjut menghabiskan makannya.

"Lo pengen masuk ITB?" Novel mengerutkan kening heran. "Bukannya lo nggak mau kuliah, ya?" tanyanya mengingat perkataan Vanila waktu itu sambil malas-malasan, seolah kata 'kuliah' adalah kata-kata keramat.

Vanila cengengesan. Ini namanya menjilat ludah sendiri!

Mata Novel menyipit curiga. "Jangan bilang lo tertarik masuk ITB demi liat cogan itu?"

Cengengesan Vanila yang lagi-lagi, membuat Novel langsung tahu jawabannya hingga dia kembali mengadahkan tangan. "Ya Allah, kenapa baru sekarang saya disadarkan bahwa yang bersahabat dengan saya ini adalah orang gila?!"

"Huhft, mau ketemu atau nggak, yang penting gue udah pernah eyes contact sama dia, naik motornya, Vel...."

"Naik motornya, itu karena lo nggak sengaja! Nggak jalan berdua aja bangga!" cibir Novel. Dadanya naik turun gemas. "Val, bisa nggak, sehari aja lo lupain Zairu?" Novel keliatan serius kali ini. Dia kewalahan sendiri karena sahabatnya ini tidak pernah absen membicarakan cowok yang dipuja-pujanya setiap jam, setiap menit, ibarat kata 'tiada hari tanpa Zairu'.

"Gue bosen lo spam nama dia mulu. Kayak nggak ada cowok lain aja. Kayak bakal jadian aja. Dia juga nggak kenal sama lo, Val. Sadar." Mau sampai kiamat Novel menampar Vanila lewat kata-kata, tetap saja tidak membuat gadis itu sadar. Curiga kalau sahabatnya ini kena pelet Zairu Mahendra.

"Eits, lulus ntar gue bakalan masuk ke kampusnya dan ketemu dia terus," kata Vanila, tersenyum bangga.

"Masih lama!" delik Novel.

Behind The Spotlight✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang