Aku tidak menyukai pekerjaanku. Menghadapi pemegang saham membuat kepalaku sakit. Beban kerja yang tidak masuk akal. Jam kerja yang semerawut selayaknya meja kerjaku. Namun aku tidak bisa berhenti. Aku tertawan waktu.
Karena itu, aku suka mencentang setiap tanggal yang terlewati. Setiap kali tanggal itu tercentang, aku disusupi suka cita menyambut hari pembebasan.
504, aku harus mencentang lima ratus empat hari lagi. Namun hari itu, bukan hari pembebasan sepenuhnya. Namun setidaknya aku tahu, hari itu nafasku akan lebih lapang.
Ada kaktus yang aku letakkan di samping monitor. Aku rawat sepenuh hati. Namun dia mati di awal tahun. Membusuk kemudian kering. Warnanya menyatu dengan tanah.
Memasuki awal musim kering. Aku banyak berkeringat. Bunga-bunga banyak bermekaran. Di sepanjang trotoar, ada banyak objek yang menarik untuk di potret. Aku menyusuri jalan, sesekali memaki pemilik kendaraan yang memarkirkan kendaraannya di atas trotoar.
Aku mengabaikan handphone kerjaku. Bunyi notifikasi sesekali terdengar. Namun hari itu, aku sungguh sedang tidak ingin mengurusi apapun.
Aroma asin laut memenuhi rongga hidungku. Aku berdiri di bundaran dekat pelabuhan. Memikirkan rencana spektakuler untuk hari pembebasanku.
Memuakkan, hari-hari terasa berjalan lambat. Aku lalu mulai mengumpati diri sendiri. Dadaku sesak, karena beban, rasa marah, rasa benci dan rasa muak yang membludak.
Akan kemana aku hari itu?
Mungkin pertunjukan komedi akan bisa mengurangi rasa sesakku.
Aku tidak tertawa, tapi mulai menangis dalam diam. Dengan itu, setidaknya aku tidak akan meledak.
Aku berangsur-angsur kembali masuk dalam kubah tak kasat mata. Membuka handpone kerjaku, membalas satu persatu pesan. Menelpon dengan suara ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
KROKUS
General FictionAlamanda berpikir, malam di usianya yang ke dua puluh dua tahun, hidupnya akan segera berakhir. Dunia tidak akan selama itu, namun dia punya penyesalan karena tidak jujur menjalani hidup. Dengan menatap langit malam yang kelabu, dia ingin bercerita.