Bagian 1 - Daun yang Telah Gugur

3.6K 210 17
                                    

🍁



tubuhku terajut dari serat-serat kehilangan. kehilangan keyakinan, kehilangan kebebasan, hingga segenap usia adalah nilai tukar tidak bahagia.

benakku terajut dari serat-serat peristiwa. terayun, tergerak, dan melebur. batas antara kita, kota, dan semua kenangan yang hidup selamanya dalam kata-kata.

Deru napas yang berhembus pada musim dingin. Seperti kereta yang meninggalkan kepulan asap pada langit-langit udara yang membiru. Siang ini tak lagi terik, dipenuhi oleh bising kendara yang melintas di sekitar Bandara. Cuaca hari itu sunyi. Matahari bersinar malu-malu di balik awan tebal hingga melandasi cahayanya.

Ketukan langkahnya terdengar sangat bijaksana, jarum jam yang bertengker di tangannya seolah berteriak tak sabar. Dan, sekarang sudah pukul setengah tiga. Butuh satu jam lagi sampai mesin terbang itu membawanya ke destinasi utama.

Hatinya berubah gusar saat mengingat satu nama. Nyatanya, enam puluh purnama yang ia janjikan, berakhir menjadi omong kosong hingga bertahun-tahun kemudian. Pun, tak ada yang bisa menjamin sosok itu masih mengingatnya.

Gusar pada hatinya bertambah riuh. Seperti daun yang dipaksa gugur dan seperti hujan yang tidak diharapkan kehadirannya. Bagaimana kalau sosok itu sudah memilih jalan takdir yang berbeda? Dan bagaimana jika ia terlambat memenuhi janjinya?

Terlambat?

Tanpa disadari—atau memang sengaja dilupakan. Sejak lama ia sudah kalah dengan keadaan. Bukan hanya terlambat. Bahkan, ia tahu bahwa tidak ada yang bisa dijanjikan sejak awal.

Janji yang diucapkan dulu hanyalah obat penenang sesaat, agar keduanya bisa sama-sama merelakan dengan cepat. Tenggorokannya perih saat dipaksa menerima kenyataan yang semakin dipikiran maka semakin mendatangkan penyesalan.

Apakah sosok itu juga merasa menyesal? Mungkin. Kendati, penyesalan tersebut datang ketika ia tahu bahwa selama ini penantiannya hanyalah sia-sia.

Kapan terakhir kali keduanya berkomunikasi? Tiga tahun yang lalu? Atau empat? Lima? Namun yang pasti, terakhir kali ia menerima email saat sedang menempuh sekolah Magisternya. Waktu itu, masih sangat jelas dalam ingatannya, saat dirinya tengah menyiapkan ujian akhir, ia mendapat sebuah email yang berisikan kalimat perpisahan.

Sekali lagi, ia masih mengingat waktu itu dengan sangat jelas. Ketika akhirnya ia bolos pada ujian akhir dan terpaksa mengulang di kelas berikutnya.

Meski, sejak awal ia sudah menduganya. Namun tetap saja, hatinya merasakan sedih yang teramat saat membaca email tersebut. Pun, seperti yang ia katakan, ia sudah menduganya. Karena siapa pun akan memilih pilihan yang sama jika dihadapkan pada posisi mereka.

Nyatanya, kenangan pahit itu sudah membawanya cukup jauh. Hingga tiba gilirannya masuk ke dalam pesawat dan ia melirik arloji di tangannya kembali. Kemungkinan pesawatnya akan tiba besok pagi.

Netranya mulai memberat. Sudah berapa lama ia tidak tidur, ya? Tentu, ia harus mengurus banyak hal untuk perpindahan ini. Dan, ya, sedikit-sedikit ia harus mempelajari bisnis yang paten diwariskan kepadanya.

Ia terpejam dan napasnya mulai samar. Meskipun begitu, satu ketakutan terus merajai perasaaanya.

Apakah sosok itu masih mengingatnya?

'Ladies and gentlemen, welcome on board Flight NY2823 with service from New York to Jakarta...'


🍁


Series III #MOERZA | Jika Kita Bertemu Kembali [MARKNO AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang