🍁
Waktu berhenti di matamu
ketika tetesan hujan jatuh dan membasahi, mengetuk pintu hati seolah ingin mengajakku bercengkrama.Pada lampau yang tak pernah usang,
pada waktu yang tak pernah lekang.Menari di atas puing ingatan
dan menyelam rajut tak bertuan.Satu hal yang tidak pernah berubah;
kamu (tetap) seperti yang sudah-sudah.Semesta terus berjalan, tanpa peduli dengan luka yang masih menganga atau riuh dalam isi kepala. Waktu terus berputar, tanpa mengenal esok, atau sesal yang menjadi alasan manusia terjaga hingga pagi buta. Bagai terjebak di dalam labirin, tak ada yang tahu kapan hidup akan berakhir, pun tak ada yang tahu akhir dari semua penderitaan yang kita rasakan di dunia.
Pasalnya, ada hal yang lebih menyedihkan, ketika hidup tak lagi berjalan dan waktu sesaat berhenti, tapi kesempatan untuk berpamit dan memaafkan tidak pernah terjadi. Ketika luka yang kita terima, yang membuat riuh isi kepala, kenyataannya buah dari rasa kehilangan seseorang yang disayang.
Adalah hal yang paling menyakitkan dan sekaligus mengenaskan. Sebab, kata pamit hanya tertinggal di ujung lidah dan kata maaf sudah tak mampu lagi menghapus segala gundah.
Terlambat.
Satu kata yang menjelaskan bahwa semua tidak lagi sama. Seperti halnya, waktu yang terbuang sia-sia. Entah karena tak menyadari atau sengaja mengabaikan. Namun yang pasti, penyesalan itu tetap menyambutnya, dan kata 'terlambat' seolah menjelma bagaikan dosa seumur hidup.
"Hi, Mami. I miss you, always."
Seorang lelaki yang telah beranjak dewasa tengah berdiri seraya menatap pigura Sang Mami. Pakaian yang dikenakannya selalu rapi, karena Mami-nya pantas untuk dihormati dengan cara yang terbaik. Kendati, semua hal itu tak kunjung menyamarkan kesedihannya. Ia masih berduka. Bahkan, setelah lima tahun berlalu.
"Kenapa akhir-akhir ini Mami nggak pernah datang ke mimpi Elang? Padahal Elang kangen sekali sama Mami. Setiap malam Elang kesepian, lalu berpikir kalau Mami akan menemani Elang di dalam mimpi. Tapi sampai bangun pun, Elang masih sendirian." Lelaki itu tersenyum miris dengan tatapan kosong.
"Elang harus berbuat baik seperti apa lagi ya, Mi, biar dunia ini nggak jahat sama Elang? Biar Tuhan kasih seseorang untuk menemani Elang. Walaupun sudah pasti nggak ada yang mampu mengalahkan Mami, tapi Elang tetap ingin ada yang menemani—"
Kata-kata Erza mengudara. Sekelebat bayangan Moeza muncul dalam lamunannya.
Sibuk merenung, membuat Erza tak sadar bahwa kini ada orang lain yang berdiri tak jauh darinya. Hingga kedua matanya menatap sepasang sepatu yang berada di sisinya. Sedetik kemudian, kondisi dalam ruang itu berubah suram setelah ia melihat siapa sosok itu. Bagaikan kemarau yang tidak lagi mengharapkan hujan, pandangan keduanya saling tidak mengacuhkan. Hening yang menusuk sukma. Meninggalkan kata untuk sekedar saling menyapa.
Di saat itu, Erza sudah ingin berniat pergi setelah memundurkan langkahnya. Tetapi, perkataan dari sosok yang lebih tua menghentikan langkahnya, hingga Erza harus memutar tubuhnya menghadap sosok itu.
"Sampai kapan kamu akan menghindari Papi?"
Erick Nasution, atau yang dikenal sebagai Papi dari Erza. Lelaki yang sudah berusia lebih dari setengah abad menatap putranya yang masih terdiam.
"Bukan hanya kamu yang berduka. Tapi Papi juga, Elang." Sontak Erza terkekeh, ketika ia mendengar ucapan Erick tersebut. "Saya nggak yakin, setelah apa yang Papi lakukan ke Mami, saya nggak yakin Papi benar-benar berduka atas kepergian Mami." Balas Erza, menyeringai. Tatapannya pada Erick sudah berubah sejak beberapa tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Series III #MOERZA | Jika Kita Bertemu Kembali [MARKNO AU]
Fanfiction"Jika Kita Bertemu Kembali" SERIES III : MARKNO AU #MOERZA - Moeza dan Erza Sebermula adalah aku dan kamu yang berlabuh pada kata "kita" sebelum akhirnya hancur dan melebur. Semesta yang memaksa Erza melepas Moeza buat raganya hanya dipenuhi Lobus y...