Lampu kamar ini terang benderang, mungkin cahayanya menelusup keluar hingga jendelanya cukup mencolok, seorang sniper akan segera ketahuan jika memiliki tempat seperti ini. Di ujung dekat laut lepas pelabuhan kamar ini berdiam, ruangan nya luas sebab posisinya berada di pojok bangunan, leluasa ketika penghuninya ingin melihat kearah pasar maupun cakrawala timur laut lepas, namun bagi para puitis yang berhasrat melihat senja, loteng bangunan ini bisa menjangkau barat dan cakrawala lainnya.
Mungkin penghuni kamar terang itu seorang puitis, mereka duduk di kursi kecil lipat plus meja portabel, mereka menyilang satu kaki, melihat kearah matahari yang menyisakan kuning pada guratan langit, sungguh indah bagi dua pasangan ini untuk saling mengobrol, di temani kopi hitam dan buku sketsa si laki-laki yang buluk nan menawan, cover kulit ularnya robek sana-sini, di dalamnya kayu, terlihat betapa elegannya buku itu, hingga robekan pun terasa seperti bergaya.
Eli memajukan kepalanya untuk menjangkau buku itu, terlihat pemandangan ia lukis dengan sempurna tanpa warna, masih berupa sketsa yang kasar namun cekatan, terlihat guratan pensil di atas kertas tebal yang entah kenapa menguning itu, sungguh indah, bentuknya bahkan dapat terlihat saat ini, seperti sketsa absurd asal coret namun menarik untuk di lihat, laki-laki itu begitu lihai menggerakkan setiap inci pergelangan, jari jemari, dan seluruh bagiannya yang berkontribusi.
Laki-laki pacar dari eli, adalah si pemilik kamar berjendela mencolok, rumbai-rumbai kain berwarna cerah dominan oranye menghiasi pinggiran nya, setiap malam semakin cerah, namun Eli menutupinya dengan selembar gorden, cahayanya menjadi merah jambu ketika gorden itu dikibarkan, tembok gedung yang membatasi sebrang antara gang kecil berisi pedagang, merona merah karena pancarannya.
Foto mereka dipajang bak pasangan lama di atas laci kecil, samping kasur tidur si laki-laki, Eli tidak masalah, tapi mereka sebenarnya baru saja menjalani hubungan selama tiga Minggu, si laki-laki selalu berkata akan menikahinya kelak, namun bagi Eli, itu semua omong kosong belasan tahun lalu yang diputar melalui radio tua yang hampir kehilangan frekuensi karena kurang cakap teknologinya.
Kamar yang kita sebut sekarang sebagai kamar mencolok, rumbai meriah, dan hangat, dingin seketika menyisakan sesak, foto-foto di atas laci dan album di dalamnya tidak penting lagi, cerita kemarin telah usang, persoalan baru menjerat si laki-laki untuk membayar sejumlah uang, untuk kamar yang penuh inspirasi dan kebahagiaan dulunya, sebelum si perempuan itu datang menghancurkannya.
Satu layangan ia lepas, Eli dulunya layangan, di lepas secara menyakitkan, kini, Eli menjadi pemain layangan, ia lepas dan pertahankan sesuka hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
kota patah hati
Spiritualeli, perempuan berumur 30 tahun, jauh dari rumahnya, ia menetap indekos bersama teman nya, Ratna, yang sama-sama berasal dari kampung halaman, di umur mereka ini, pertanyaan soal pernikahan, anak dan keluarga kecil adalah beberapa hal yang sudah bi...