BAB 1

46 4 0
                                    

"Nay, orang-orang udah pada kangen sama kamu."

Nay? Nay siapa?

"Senin depan ulangan matematika. Lo paling suka mapel itu, 'kan?"

Matematika? Nggak, bahkan gue alergi itung-itungan. Mending nabokin bola voli sampe tangan lebam daripada harus berkelahi sama angka.

Suara-suara itu terus terdengar bersahutan, tetapi raga yang diajak bicara masih belum bisa bergerak sedikit pun. Jangankan membantah setiap ucapan yang bertentangan, sekadar membuka mata saja begitu berat rasanya.

Belum lagi dengan bau obat-obatan yang begitu menyengat indra penciuman. Ia ingin menggerakkan tubuh, tetapi kenapa semuanya kaku?

"Kalo nggak bangun, gimana kamu ikut ulangan? Kamu bilang pengen dapet nilai 100 di mapel matematika."

"Kucing yang biasa kita kasih makan udah lahiran kemarin, Nay."

"Nay, lo jangan tidur kelamaan."

"Nayanika, bangun. Mama kangen."

NAMA GUE BUKAN NAYANIKA!

Pada akhirnya hanya berselang detik untuk raga yang tak berdaya itu mengalami kejang dan membuat panik seisi ruangan.

***

Linglung, satu di antara ribuan kosa kata yang mungkin bisa mewakili isi hatinya saat ini.

Entah sudah berapa puluh menit sejak ia sadarkan diri, tetapi seolah nyawanya masih belum terkumpul sama sekali.

Tubuh yang masih lemas, lingkungan asing, serta orang-orang yang terus saja memanggil dengan nama 'Nayanika' benar-benar membuat kepalanya terasa pusing setengah mati. Tak menanggapi berbagai pertanyaan yang dilontarkan, ia memilih menerima setiap suapan yang diulurkan.

Menjadi orang bingung juga butuh tenaga, bukan?

"Nanti kalo kamu udah boleh pulang, Mama bakal buatin semua masakan kesukaan kamu, Sayang."

"Mama juga udah beresin kamar kamu biar nanti nyaman istirahat di rumah."

Perempuan paruh baya yang terus menyodorkan sesendok bubur itu terus berceloteh dengan semangat. Sementara sang pasien hanya bisa menghela napas lelah. Satu tangan yang bebas dari infus terangkat untuk mengusap telinga yang panas karena mendengar nama 'Nayanika' menggema.

Siapa Nayanika? Seperti tidak asing, tetapi kenapa mereka semua memanggilnya dengan nama itu? Belum lagi dengan telinganya yang terasa berbeda ketika disentuh.

Apa ini? Anting? Tunggu, sejak kapan dirinya memakai aksesoris perempuan?

Seketika tubuhnya meremang begitu merasakan kepalanya dielus dan ia menyadari satu hal. Panjang? KENAPA RAMBUTNYA JADI PANJANG TERURAI BEGINI?

"Kamu kenapa, Nay? Kok pucet?" Lagi, perempuan paruh baya yang tadinya memegang semangkuk bubur terlihat begitu khawatir.

Dengan tubuh gemetar dan raut wajah pias, satu-satunya kalimat yang ia ucapkan berhasil membuat satu ruangan nyaris geger.

"N-nama saya bukan Nayanika, Tante."

Hening, dari hitungan satu hingga lima belas. Sebelum akhirnya beberapa orang yang bertahan di ruangan itu kocar-kacir memanggil dokter.

"Tante, kayaknya Naya amnesia!"

"Pasti benturan yang Naya alamin keras banget sampe dia jadi lupa ingatan."

"OMG, Naya! Jangan sampe lo juga lupa sama suami kita, Min Yoongi!"

"Jangan lupain selingkuhan kita, Park Solomon, Nay!"

Second Chance Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang