Guilty feeling

2 0 0
                                    

Isidore POV

Sedari tadi pria itu sibuk mencari-cari barang yang entah di mana keberadaannya. Sudah setengah jam Ia mencari, namun masih belum juga menemukannya.

"Hah... di mana HPku" Isidore menghela napasnya dan mulai mencari lagi di sekitaran kamar.

Ia menelusuri setiap sudut kamarnya, untuk yang kedua kalinya Ia memeriksa meja tempat barang-barang Aleesa ditaruh dan memeriksanya dengan hati-hati.

"Ah yaampun ternyata di sini dari tadi," Akhirnya Ia berhasil menemukan ponselnya, di bawah tas laptop milik Ale. Segera ia mengambilnya dan mengecek beberapa notifikasi pesan di sana.

Namun, tanpa sengaja ponselnya terjatuh dari genggamannya dan mengenai laptop Ale, "Aduh." Ia terkejut. Ponselnya jatuh di atas keyboard laptop milik Ale. Sebabnya, desktop laptop itu pun menyala, dan menampilkan semacam sebuah progress editing milik Ale. "Apa ini?", gumamnya. Penasaran, Ia pun mengecek slide demi slide yang ada di sana. Setelah mengecek dan mengetahui apa yang ternyata selama ini istrinya kerjakan, membuatnya shock.

Seketika napasnya berderu, jantungnya berdegup dengan cepat, tangannya mencengkram ponsel yang ada digenggamnya itu dengan kuat. Sekarang ia sedang menahan emosinya.

. . .

Gelisah. Perasaan itulah yang sedang aku rasakan sekarang.

"Wah, gila! Aku shock sekali. Kenapa kamu seperti ini? Kenapa tidak memberitahuku?" Ucap Isidore dengan nada bicara yang sedikit meninggi.

"Maaf..." hanya kalimat maaf yang sekarang dapat keluar dari mulutku. Sambil menahan air mataku, aku berusaha untuk menjelaskan semuanya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, ia masuk ke dalam kamar dan kemudian keluar dengan kunci mobil di tangannya, lalu pergi meninggalkan aku sendirian di rumah ini.

Sedangkan aku, masih tetap berdiri di sini, terpaku menatap kepergiannya.

Memang, mungkin aku salah, karena tidak terbuka dengannya, aku memilih untuk mengambil project itu tanpa memberitahunya sama sekali. Sekarang, aku benar-benar menyesal.

Melihatnya kecewa denganku dan bahkan menyuruhku untuk pergi, itu membuatku merasa sedih dan sakit. Aku... sudah membuat kepercayaannya terhadapku hancur karena perbuatanku sendiri. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.

Aku hanya bisa menangisi apa yang sudah terjadi.

. . .

Tidak pernah terpikirkan olehku hubunganku dengan Isidore akan seperti ini. Hal ini membuat hari-hariku tampak begitu suram.

Sudah 2 hari ia tidak pulang ke rumah, khawatir mulai menyelimuti diriku. Tidak ada kabar apapun darinya, bahkan pesanku tidak dibalas olehnya, panggilan telponku juga tidak diangkat. Baru kali ini ia marah sampai seperti ini.

Aku terduduk lemas di pinggiran kasur dengan ponsel berada di tanganku, sedari tadi aku hanya menatap roomchat dengan Isidore tanpa tahu harus berbuat apa. Aku hanya berharap ada pesan masuk darinya.

Setelah merenung sejenak, aku memutuskan untuk mengirimkan pesan untuknya, walaupun nantinya tetap tidak dibalas, setidaknya aku sudah mencoba. Jari-jemariku pun mulai mengetikkan sesuatu,

Sayang... kapan kamu pulang? Aku kangen banget sama kamu. Aku minta maaf, aku menyesali perbuatanku. Aku nggak bakalan ngulangin lagi. Kamu pulang yah

Belum selesai mengetikkan apa yang ingin ku sampaikan, mataku mulai memanas dan berair.

Aku bakalan memperbaiki diri agar lebih baik lagi kedepannya. Jangan tinggalin aku... aku sayang kamu

Sent

Tangisku pecah tepat saat mengirimkan pesan itu. Aku sudah tidak sanggup menahannya. Harapanku sekarang hanya ingin ia kembali kepadaku dan dapat memperbaiki hubungan ini.

FIN

(A Wish) Be BetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang