PERMAINAN sudah berakhir. Vanila sama sekali tidak kecewa dengan tim KNIGHT yang mengalami kekalahan, tapi dia justru bangga dengan perjuangan Zairu dalam setiap permainan. Baginya, cowok itu memang pantas disebut atlet sejati. Julukan shooting guard dalam tim juga tidak mengecewakan. Mungkin dia kurang profesional saja.
Atau... bolehkah Vanila menyalahkan gadis mungil tadi? Gadis mungil yang menghampiri Yuizza saat semua pemain dipersilakan istirahat sebentar.
Mata Vanila sedari tadi memperhatikan kalau gadis itu diomeli Zairu habis-habisan, tapi si gadis juga keras kepala tidak mau kalah omongan. Vanila kira tidak ada cewek yang tidak menyukai cowok sekeren dan sejago Zairu, tapi ternyata dia salah. Dia tidak tahu ada masalah apa gadis mungil tadi dengan Zairu, dan... siapanya? Sepertinya masalah mereka tergolong serius.
Setidaknya itu yang ada di pikiran Vanila sebelum dia tanpa sengaja mendengar bisikan-bisikan tukang gosip di sekitarnya.
"Adiknya berulah lagi?"
"Tahu tuh, caper. Ngerusak suasana aja."
Diam-diam Vanila berusaha menajamkan pendengarannya. Adik?
"Iya, nggak tahu malu, ya? Padahal banyak orang."
"Mereka beneran adik-kakak, kan? Kok kayak musuhan banget, ya?"
"Ada masalah keluarga yang nggak bisa diselesein, kali?"
"Zairu ternyata bisa ngeri juga, ya? Marah-marah kayak orang kesurupan."
"Iya, ya, kirain di balik sikap dinginnya dia orangnya hangat."
Jadi, benar dugaannya? Mereka adik-kakak yang sering kepergok adu mulut tak tahu tempat? Sebenarnya... ada apa di antara adik-kakak itu? Ah, Vanila jadi ingin menggali informasi lebih lengkap soal Zairu.
Apakah dia benar-benar harus menjadi stalker-nya saja?
***
Vanila sudah seperti penguntit saja sekarang. Dia mengikuti ke mana saja Zairu pergi dari kejauhan sepulang tanding. Cowok itu bahkan sepertinya benar-benar suka menguras tenaga, ya? Padahal punya motor Ninja yang keren, tapi memilih jalan kaki yang memakan waktu cukup lama?
Vanila tidak tahu apa yang ada di pikirannya saat cowok itu menunduk dalam diam, sesekali menendangi kerikil di sepanjang trotoar yang dilewatinya, sementara Vanila sendiri berada di trotoar seberangnya.
Ke mana pun dia pergi, Vanila harus tahu karena ini merupakan salah satu misinya. Misi agar tahu di mana rumahnya. Anggap saja dia gila, kurang kerjaan, tapi memang begitulah dia.
Zairu berhenti di halte ke tiga yang jauh dari sport center. Kira-kira mereka sudah memakan jarak lebih dari lima ratus meter hingga membuat Vanila menahan kakinya yang terasa kaku-efek jarang berolahraga, sementara Zairu terlihat biasa-biasa saja seolah sudah sangat berpengalaman.
Padahal di sepanjang perjalanan tadi ada halte yang dilewati, tapi cowok itu lebih memilih halte yang lebih jauh, seolah ingin berlama-lama sampai rumah. Seolah di rumah ada apa-apanya. Seolah tidak ingin bertemu adik atau orangtuanya.
Vanila mengerutkan kening tidak paham saat menyaksikan Zairu membentur-benturkan dahinya ke tiang lampu jalanan beberapa kali, dan disaksikan beberapa orang tapi dia tidak peduli. Keliatan sekali dia sedang berada dalam mode rapuh, tapi begitu beberapa saat kemudian cowok itu tiba-tiba terbahak-bahak tidak jelas, mulut Vanila terbuka lebar, mungkin cowok itu tidak rapuh hatinya, tapi sudah miring otaknya.
Gadis itu berkedip beberapa kali, tidak tahu harus mendeskripsikan kelakuan aneh crush-nya seperti apa lagi. Ternyata di balik sikap cool-nya, cowok itu rapuh dan lucu juga walaupun aneh. Namun, bukannya mereka justru mempunyai kesamaan, sama-sama berbuat hal gila saat pikiran sedang kacau, bukan?

KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Spotlight✔️
Novela Juvenil"Lo pikir dengan cara lo jadi penguntit gini orang bakal seneng? Jangan suka ikut campur dan caper sama orang. Itu sama sekali nggak bakalan bikin orang itu suka balik sama lo. Yang ada malah tambah risih." "Apa gue salah selama ini salah, berjuang...