Haiii
......
Tok tok tok...
Ketukan itu terdengar normal, namun tidak berhasil membangunkan penghuni kamar yang terkurung dalam lelap.
Dakdakdakdak!!!
Ketukan bruntal menghantam pintu, membuat seonggok manusia terbalut selimut terbangun. Dalam kebingungan, raut marah mencerminkan wajahnya saat ia membuka pintu kamarnya.
“Ah, ganggu aja lo. Masih pagi banget ini, gila lo,” gerutu Zeta, sebelum melemparkan badannya kembali ke tempat tidur, seolah menganggap kehadiran dunia luar sebagai gangguan yang tak diinginkan.
“Pagi buta, iler lo noh bleber. Jam 10 ini!” Abby membalas dengan nada ketus, rasa kesal merasuki suaranya.
“Gue bersih-bersih sampai jam 1 pagi, ya wajar lah,” suara Zeta teredam di balik selimut, seolah berusaha membenarkan dirinya meski dalam keengganan.
“Tempat tidur doang itu. Yaudah, makasih, lanjut tidur sana,” Abby mengucapkan kata-kata itu dengan nada putus asa, seolah sudah terbiasa dengan kebiasaan temannya yang aneh.
Zeta bergumam, suaranya nyaris tidak terdengar, sebelum ia melanjutkan tidur, membiarkan dunia di sekelilingnya terus berputar tanpa dirinya.
.
.
.
.
.
.Desember telah hadir selama dua minggu, salju menutupi seluruh kota dengan selimut putih yang dingin. Liburan musim dingin semakin dekat, namun kegembiraan itu dibayangi oleh ujian akhir yang dijadwalkan pada hari Senin mendatang. Semua siswa tampak sibuk, terbenam dalam buku masing-masing, wajah-wajah mereka terlihat tegang, dipenuhi rasa cemas yang menyelimuti suasana.
Perpustakaan dipenuhi oleh kerumunan pelajar, bahkan hingga dini hari. Suara kertas yang berdesir dan bisikan lembut penuh konsentrasi menggantikan suara bising kota di luar. Khususnya bagi anak-anak kelas 12, mereka berjuang dengan segala daya untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk perguruan tinggi yang menjadi penentu langkah hidup mereka.
Di antara rak-rak buku yang tinggi, udara terasa dingin dan hening, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang bagi impian dan harapan yang dipertaruhkan. Abby, terhimpit di antara tumpukan buku, merasakan tekanan yang sama membebani teman-temannya. Dalam kesunyian itu, rasa cemas menyelusup ke dalam hati, membisikkan ketakutan akan masa depan yang tidak pasti.
Jay memandang sekeliling. Semua orang tampak terfokus, tenggelam dalam pelajaran masing-masing. Ia menyenggol Jake, mengajaknya berbicara, "Bro, cari makan kuy."
"Gw nitip aja," jawab Jake, menatap Jay dengan mata penuh harap.
"Nggak seru lu," balas Jay, beralih kepada Gllen yang masih sibuk mencatat.
"Nggak, terima kasih," kata Gllen, tetap fokus menulis, tanpa mengalihkan pandangan.
Jay memasang wajah sinis pada temannya itu,lalu pergi meninggalkan perpustakaan dengan raut wajah kesal.
"Udah istirahat dulu, udah larut," suara Ran mengalun saat ia membereskan buku-bukunya. Yang lain mulai meregangkan otot-otot tubuh mereka. Lima jam duduk terasa menyakitkan, bergelut dengan soal-soal dan materi yang menguras waktu tidur.
Abby masih tenggelam dalam catatannya, rambutnya berantakan, hidungnya tersumbat tisu. Anak itu tampak terobsesi untuk menyaingi kakaknya.
Lily menepuk pundak Abby, mengingatkannya. "Iye, bentar lagi."
"Udah yok," jawab Abby, membereskan buku-bukunya dengan cepat.
.
.
.
.
.Hari terakhir ujian membawa sedikit rasa lega bagi semua murid. Sekumpulan manusia berbeda usia itu berkumpul, menikmati makan siang, meskipun tidak untuk dua di antara mereka, hal ini tidaklah terjadi. Ayden dan Ran masih tenggelam dalam tumpukan buku dan soal, seolah mengabaikan semua yang lain. "Tidak ada kata berhenti belajar selagi masih bernafas" mantra Ran, wanita itu selalu berpegang teguh pada kalimat yang terasa berat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Worst Thriller
Mystery / ThrillerCerita ini dibuat berdasarkan niat dan hasil seadanya maaf jika bahasanya masih ala kadarnya.... Cerita ini juga diupload masih dengan rasa tidak percaya diri dan takut dikira plagiat (padahal kagak ada yang bakal tahu isi otak saya kecuali Tuhan) S...