"Aku tau hidup emang cukup berat, sampai-sampai ketika kamu ngasi sedikit perhatian aja ke oranglain, kamu malah di salah-pahamin."
***
Katanya, hidup itu memang terdiri dari komponen-komponen masalah yang datang silih berganti. Tapi bagi Nara, eksistensi dirinya saja sudah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Misalnya di pagi hari ini. Dia benar-benar baru membuka matanya lima detik yang lalu, ketika apa yang dia sambut untuk pertama kali, adalah sebuah makian dan pecahan kaca yang bertebaran. Meskipun dia engga melihat secara langsung, tapi Nara yakin, bahwa dilantai bawah sana, pecahan kaca pasti sudah ada dimana-mana.
Cerai. Kata yang sudah teramat bosan untuk dia dengar terus-menerus.
"Nara ikut aku! Mau jadi apa dia kalau ikut seorang ayah yang gapunya rasa tanggung-jawab kaya kamu!"
"Oh, emang kamu pikir selama ini kamu udah jadi ibu yang cukup baik buat dia?! HAH?!"
Nara muak. Demi apapun, dia ingin hidup sendirian saja. Engga ikut siapa-siapa. Toh, selama ini juga begitu.
Pada akhirnya, selimut putih polos itu dia tarik kembali, tutupi seluruh tubuhnya hingga ujung kepala. Hingga rasa-rasanya, kalau bisa menghilang, maka dia pilih untuk menghilang saja.
"Mending gue lanjut tidur."
***
"Tau ga kenapa kita butuh oranglain dalam hidup kita?" Demi Tuhan, Nara sedang tidak ingin bicara sama sekali. Dalam perjalanan nya menuju kelas 11 yang terletak diujung koridor, dia bertemu Anton. Manusia setengah bule yang gemar menghancurkan hari-hari tenang nya.
"Gatau." Judes. Galak. Kaku.
Tiga kata yang menggambarkan Nara saat ini.
"Aku juga gatau sih, makanya nanya." Dan begitulah. Nara kontan menghentikan langkah nya hanya untuk menarik nafas panjang. "Lo... cabut. Sebelum pala lo yang gue cabut sekarang." Apalagi yang bisa Anton lakukan selain berlari dengan tawa nya yang menggema.
"HAHAHAHAHA!"
***
Nara. Jika memang harus diperkenalkan, satu nama itu sejujurnya cukup dikenal oleh satu sekolahan. Selain dia tampan, Nara juga punya suara merdu. Dia anak tunggal. Engga punya saudara, atau mungkin lebih tepatnya, dia engga punya siapa-siapa. Anaknya engga banyak bicara. Tampaknya, diam adalah emas merupakan motto hidupnya.
Sampai dia... bertemu Ana. Anasera. Gadis cantik pemilik senyum Nara. Gadis cantik pemilik segalanya.
Disuatu sore dipukul 3, Nara dan Ana bertemu untuk pertama kali. Di perpustakan, diantara buku-buku yang berbaris rapi.
"Gue duluan."
"Aku." Balas yang gadis. Sorot matanya tajam, wajahnya datar, menatap Nara tanpa ekspresi.
"Kita gunting batu kertas aja." Lanjutnya kemudian, hanya untuk membuat bibir Nara tertarik sedikit. "Ga. Ga perlu segitunya. Yaudah buat lo aja."
Sebelum Nara benar-benar berlalu, suara nya kembali mengudara. "Kamu orang nya emang suka ngalah begini ya?" Nara diam kebingungan. Pilih untuk biarkan gadis didepannya melanjutkan ucapan.
"Aku Ana. Anasera. Kalau kamu lupa, ini adalah kali ketiga kamu mengalah atas apa yang seharusnya jadi milik kamu."
"Lo kenal gue?"
"Engga. Cuma tau aja. Kamu Nara kan?" Lantas dia mengangguk.
"Kamu baik, entah kamu sadarin atau engga. Tapi Nara, hidup ini ga selamanya tentang menjadi baik. Sesekali kamu boleh kok menjadi egois untuk diri kamu sendiri. Apalagi kalau itu emang hak kamu. Bangku didalam bus seminggu yang lalu jelas-jelas seharusnya milik kamu, tapi secara sadar, kamu justru berikan itu untuk oranglain. Mie ayam tiga hari yang lalu juga begitu. Seharusnya kamu marah waktu antrian mu dipotong sama oranglain, dengan begitu, alih-alih si kakak kelas yang superior itu, pasti kamu sempat buat icip mie ayam nya. Dan barusan, kalau kamu mau untuk sedikit berusaha lagi, mungkin saja buku ini jadi milik kamu. Mengalah, engga selalu berarti baik. Pun orang-orang engga akan berterimakasih untuk itu."
Nara... tidak bisa berkata-kata. Bukan karena omongan panjang lebar yang gadis itu utarakan, melainkan karena sorot matanya yang menunjukkan kemarahan.
"Kenapa? kenapa lo repot-repot menjelaskan ini ke gue?"
Ana berjalan menuju salah satu meja. Duduk, lantas membuka buku yang baru saja dia dapatkan. "Karena aku ga suka orang-orang kaya kamu. Orang-orang yang selalu mengalah dan membiarkan dirinya sendiri terluka."
"Lo suka sama gue ya?" Nara mencoba menyimpulkan. Dengan cengiran di wajah nya, dia duduk tepat menghadap Ana. "Iyakan? Sejujurnya lo bukan satu-satunya cewe yang coba buat dapet perhatian gue, tapi jujur, pendekatan lo beda sama yang lain. Lo lebih...apa ya? BERANI. Iya iya berani. Keren keren!"
"Mimpi aja kamu sana. Aku tau hidup emang cukup berat, sampai-sampai ketika kamu ngasi sedikit perhatian aja ke oranglain, kamu malah di salah-pahamin. Aku itu udah punya pacar tau!"
To Be Continued!
KAMU SEDANG MEMBACA
Anasera.
FanfictionWaktu denger namanya untuk pertama kali, Nara diam-diam tersenyum, dalam hati membenarkan arti dari nama gadis berwajah galak itu. Anasera. Hadiah dari Tuhan. Dan bagi Nara, Ana benar-benar sebuah hadiah yang selalu dia syukuri keberadaan nya.