·•·•CHAPTER 1•·•·
-Jordan Sykes-
Suara sepatuku menggema di sepanjang koridor, dan aku merasakan semua mata ada padaku. Tetapi aku tidak masalah dengan itu, memang sudah seharusnya aku mereka segani. Semua menyingkir memberiku jalan, dan aku suka itu. Aku suka perhatian yang mereka berikan, bagaimana mereka melihatku dan semua tidak berani berkata-kata selama aku melewati mereka, semuanya. Bel berbunyi dan semuanya tergesa-gesa ke kelas mereka. Aku masih berjalan ke depan lokerku dan berlama-lama menghabiskan soda yang sedari tadi kuminum. Masa bodoh aku telat.
Setelah menghabiskan sodanya, aku baru berjalan dengan santai ke kelasku. Saat aku membuka pintu, semua melihat ke arahku, dan Mr. Johnson berhenti menjelaskan dan menatapku dengan tatapan yang menandakan dia tidak suka dengan kelakuanku. Sepertinya dia menungguku untuk meminta maaf atau memberi surat keterangan tentang keterlambatanku.
Tetapi aku justru tidak menghiraukannya dan duduk di salah satu kursi di bagian belakang. Wajahnya memerah marah, mungkin karena kekurangajaranku, tapi harusnya dia bahagia. Paling tidak aku masih meluangkan waktuku untuk datang ke kelasnya yang sangat tidak penting bagiku–atau bagi seluruh manusia yang bernapas di sini. Siapa juga yang mau belajar tentang sejarah? Sejarah tidak akan berguna di masa depan kita semua atau membantu kita dalam dunia bisnis. Paling-paling itu hanya berguna untuk kita mengajarkan ke anak-anak kita nanti.
Masih menatapku, aku menatapnya kembali dan melambaikan tanganku, memberinya isyarat untuk melanjutkan pelajarannya.
“Jaga sikapmu, Jordan!” tegurnya tidak suka dengan sikapku. “Terserahlah, pria tua.” Ada beberapa suara menunjukan kekejutan mereka dengan mulut ternganga.
Tak tahan dengan kelakuanku, pria uzur itu menyuruhku untuk ke ruang kepala sekolah. Bagus, pikirku, lebih baik daripada mendengar cerita sejarah yang tidak penting dan membosankan.
Aku berdiri dan segera meninggalkan ruangannya tanpa berbasa basi. Tapi bukannya ke ruang kepala sekolah, aku ke toilet wanita dan membenarkan make-upku, dan menambahkan sejumlah eyeliner pada mataku membuat mata hijauku terlihat lebih tajam. Setelah puas dengan penampilanku, aku mengeluarkan telepon genggamku dan menimbang-nimbang siapa yang harus kuhubungi untuk menemaniku.
Karen sepertinya bukan pilihan yang paling baik. Dia memang suka berpesta dan segala macam, tapi dia tidak pernah berani membolos. Ayahnya adalah kepala sekolah di sini, tentu saja ia tak mau mengecewakan ayahnya.
Jessica tidak akan setuju. Sekarang dia pasti masih sedang sibuk melihat Marco bermain sepak bola. Akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Scarlett. Aku yakin dia pasti setuju.
Keluar dari parkiran sekolah aku segera menuju mall di mana kita memutuskan untuk bertemu. Sesampainya di sana aku dengan mudah menemukannya karena ia sudah melambai-lambai ke arahku seperti orang gila. Aroma kopi yang nikmat menyambutku saat kubuka pintu kaca di Starbucks. “Satu gelas Caramel Frappucino.” Wanita yang menjadi pelayan itu mengangguk, “Empat dolar lima puluh sen, Miss.” Mahal, memang. Tapi percayalah, Caramel Frappucino ini pantas mendapat harga setinggi itu. Kalau kau sudah merasakan Frappucino ini satu teguk saja, kujamin seribu satu kepala kau pasti tergila-gila dengannya.
Harus kuakui, penampilan Scarlett sedikit berbeda dari biasanya dan ia terlihat berbeda. Rambut pirang panjangnya dipangkas pendek, hanya sekitas dua inci di bawah telinganya dan diberi highlight berwarna merah muda menyala. Aura feminim yang biasanya dipancarkan olehnya sekarang hilang. Secara penampilan, kita memang sangat berbeda, dibandingkan denganku, tubuhnya sangat mungil berambut pirang, sedangkan diriku jangkung dengan rambut ikal coklat kemerahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebelle [Bahasa Indonesia]
HumorCinderella. Seorang putri yang dimanfaatkan oleh ibu dan saudara-saudara tirinya, yang pada akhirnya hidup bahagia selamanya dengan pangeran idaman semua kaum wanita. Tapi coba kita lihat, dari seluruh buku, kebahagiaan Cinderella hanya berada pada...