Argantara melangkah dengan langkah ringan di koridor sekolah yang sunyi. Sebagian besar siswa sudah pulang, meninggalkan hanya sedikit jejak kehidupan di antara dinding-dinding yang sepi itu. Baginya, koridor ini terasa seperti sebuah lanskap yang asing, meskipun telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.
Dia tidak pernah memiliki alasan untuk datang ke perpustakaan sebelumnya. Baginya, tempat itu hanyalah ruang kosong yang dihuni oleh buku-buku tebal dan debu. Tetapi sekarang, sesuatu yang kuat menariknya, sesuatu yang bahkan dia tidak bisa mengidentifikasinya dengan jelas. Itu seperti dorongan tak terelakkan yang mendorongnya maju.
Langkahnya terdengar berderap di lantai keramik saat dia mendekati pintu perpustakaan. Dengan hati-hati, dia menarik gagang pintu dan memasuki ruangan yang gelap itu. Lampu redup menyala di atas kepala, menciptakan suasana yang hening dan hampir magis.
Argantara melangkah masuk, membiarkan matanya terbiasa dengan kegelapan. Dia melihat sekeliling, mencari-cari buku yang mungkin berguna baginya. Pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, dengan keinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi padanya.
Akhirnya, matanya jatuh pada sebuah rak yang berisi buku-buku tentang kesehatan. Hatinya berdegup kencang ketika dia melihat judul-judul yang menarik perhatiannya. Dia mulai mencari buku yang berbicara tentang penyakit yang dia alami, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah menghantuinya.
Dalam keheningan perpustakaan, Argantara tenggelam dalam dunia buku. Halaman-halaman yang kering dan bersampul kaku menjadi temannya, membawanya pada perjalanan yang tak terduga ke dalam pengetahuan yang tersembunyi.
Mungkin di antara halaman-halaman itu, dia akan menemukan jawaban yang dia cari. Mungkin di antara kata-kata yang tercetak dengan tinta hitam itu, dia akan menemukan pencerahan yang dia butuhkan.
Dan dengan harapan di hatinya, Argantara terus membaca, terus mencari, dalam perpustakaan yang sunyi dan gelap itu, di mana hanya suara halaman yang berputar dan angin yang melintas melalui jendela terbuka yang menemani langkah-langkahnya.
Arga menutup buku yang dia cari dengan lega. Setelah mencari di perpustakaan sekolah, dia akhirnya menemukannya. Namun, kelegaannya terputus ketika dia sengaja menabrak adiknya, dan Revatalia di koridor sekolah. Buku yang dia pegang terjatuh berantakan, memecahkan keheningan.
"Maaf, aku tidak sengaja," kata Arga sambil membantu mereka berdua bangkit.
Revatalia menatap buku yang berserakan di lantai, lalu matanya tertuju pada sebuah foto yang tergelincir dari halaman buku. Dia mengangkatnya dan memeriksanya dengan seksama. Ekspresinya berubah kaget.
"Ini fotomu?" tanya Revatalia, suaranya penuh keheranan. "Mengapa ada fotoku juga? Apakah kita teman masa kecil?"
Arga menelan ludah, tatapannya turun ke lantai. "Maafkan aku, Reva. Aku pergi tanpa pamit dulu dulu. Ayahku dipindahkan kerja, itu alasannya."
Tapi kebingungan Revatalia hanya semakin bertambah. "Tapi, mengapa di foto ini tertulis bahwa kamu pindah karena penyakitmu? Dan mengapa aku tidak pernah tahu tentang ini sebelumnya?"
Arga menarik napas dalam-dalam, memutuskan untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini dia sembunyikan. "Sebenarnya, aku tidak pindah karena ayahku di pindahkan kerja. Aku pergi karena penyakitku."
Wajah Revatalia pucat mendengar pengakuan itu. "Apa yang kamu maksud?"
Arga menjelaskan dengan hati-hati. "Aku menderita gagal ginjal dan leukemia. Orangtuaku memutuskan untuk pindah demi kesembuhan ku. Mereka tidak ingin memberimu beban yang berat dengan penyakitku."
Revatalia terdiam, mencerna informasi yang baru saja dia terima. Dia merasa campur aduk antara keterkejutan, kesedihan, dan rasa bersalah karena tidak pernah tahu tentang penderitaan Arga selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARGANTAREVA (ARGANTARA & REVANATALIA) End
Teen FictionArgantara Alvarezi, murid lelaki yang bucin kepada Revatalia Ananda Mikola. Mereka pertama kali bertemu di Jalan Wesel. Argan setiap pagi selalu mengganggu Reva yang ingin masuk ke sekolah bahkan saat menyebrang pun ia mengganggunya dan meramalnya S...