03. Pemaksaan

46 32 11
                                    

Setiap hari, Argantara terus menerus mengajak Revatalia untuk berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Meskipun Revatalia selalu menolak dengan sopan, Argantara tidak pernah menyerah. Dia merasa harus untuk melindungi dan menemani Revatalia. Hari-hari menjadi semakin sulit bagi Revatalia karena tekanan yang terus menerus dari Argantara.

Setiap pagi, Argantara menunggu di depan pintu rumah Revatalia dengan senyum memaksa, memaksa Revatalia untuk menyerah pada keinginannya. Namun, Revatalia bertahan dengan keputusannya untuk tidak terlibat lebih jauh dengan Argantara. Dia merasa terjebak dalam situasi yang sulit, tidak tahu bagaimana cara mengakhiri keberadaan Argantara di kehidupannya.

"Assalamualaikum, Tante".

"Waalaikumsalam, iya, siapa?".

"Saya Argantara, teman Revatalia yang kemarin mengantarnya pulang."

"Oh, Argantara. Tunggu sebentar ya, Revatalia akan segera keluar".

"Terima kasih, Tante".

Argantara menunggu di depan rumah Revatalia dengan senyum ramah di wajahnya. Beberapa saat kemudian, Revatalia keluar dari rumahnya.

"Oh, Elo. Maaf, aku tidak tahu kamu akan datang".

"Tidak apa-apa, Reva. Ayo, kita berangkat bersama hari ini".

"Tapi, gue lebih suka pergi sama Bulantasari.

"Aku tahu, tapi tolonglah berikan kesempatan padaku untuk menemanimu. Aku hanya ingin memastikan kamu selamat pergi dan pulang".

"Tapi..."

"Tidak usah khawatir. Aku tidak akan memaksamu untuk berbicara jika kamu tidak mau. Ayo, ayo, kita tidak ingin terlambat".

Argantara tersenyum hangat sambil mengulurkan tangannya pada Revatalia. Revatalia ragu sejenak, namun akhirnya menggenggam tangannya.

"Baiklah, Argantara. Kita berangkat bersama hari ini saja".

Di sekolah, Argantara terus mengejar Revatalia, mencoba memaksa dia untuk menghabiskan waktu bersamanya. Revatalia merasa tertekan dan terisolasi, tidak bisa melarikan diri dari bayang-bayang Argantara yang terus menghantuinya.

Argantara menyusul Revatalia di koridor sekolah. "Hai, Revatalia, tunggu sebentar. Ayo, kita habiskan waktu bersama".

Revatalia menghentikan langkahnya, menatap Argantara dengan ekspresi cemas. "Maaf, Arga, tapi aku sudah punya rencana lain hari ini. Aku tidak bisa bergabung denganmu".

Argantara menggerutu. "Tapi kenapa kamu selalu menghindariku? Apa yang salah dengan aku?"

Revatalia berusaha menjelaskan dengan lembut. "Ini bukan tentang kamu, Arga. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri sekarang".

Argantara mulai kehilangan kesabaran. "Tapi kita bisa bersenang-senang bersama, bukan? Mengapa kamu selalu menolakku?".

Revatalia terisolasikan dan tertekan. "Arga, aku harap kamu bisa mengerti. Hari ini itu hari untuk mengecek ruang osis".

Argantara menggertak. "Kamu tidak bisa terus menghindariku seperti ini. Aku bisa membantumu".

Revatalia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Arga, tolonglah, jangan paksa aku. Aku butuh ruang dan waktu untuk merasa nyaman".

Argantara menghela napas kesal. "Baiklah, aku akan memberimu waktu, tapi jangan pikir kamu bisa menghindariku selamanya".

Revatalia memandang Arga dengan ekspresi kesal. "Terima kasih?, Arga. Aku harap kamu bisa mengerti".

Namun, di balik semua tekanan itu, Revatalia merasa semakin kuat. Dia tahu hatinya mulai berdegup kencang, apakah ini aku mulai menyukainya. Revatalia melamun sejenak memikirkan perkataan temannya itu Bulan, "berarti yang di bilang Bulan itu benar, haish, kenapa sih Bulan selalu kecoh". Revatalia bertekad untuk tidak memikirkan perkataan Bulan dan memikirkan Argantara yang menghantuinya menjadi membuat hatinya berdebar.

Di tengah semua ketegangan dan berdebar, Revatalia mencari cara untuk mengatasi situasi tersebut. Tetapi dimana pun aku berada Argantara selalu muncul, bahkan seluruh sekolah pun pada bertanyaa tentang kedekatanku dengan Arga?.

Di lorong gelap yang dipenuhi dengan aroma rokok, karena anak anggota alumni osis sedang di ruangan osis, jadi banyak asap rokok. langkah Revatalia terdengar gemetar. Argantara, dengan senyumnya yang menggoda, terus mendekatinya dengan langkah pasti. Tapi kali ini, dia harus menemukan cara untuk menghindarinya.

Tiba-tiba, secerah cahaya menyorot dari pintu terbuka di ujung lorong. Revatalia melihat kesempatan di sana. Dia menggeser ke samping, menjauh dari Argantara, dan mempercepat langkahnya menuju pintu tersebut.

"Revatalia, tunggu sebentar!" panggil Argantara, suaranya memantul di lorong yang sepi.

Tapi Revatalia tidak menoleh. Dia terus maju, mencapai pintu dan berdiri di ambangnya. Cahaya matahari menyilaukan, seolah memberinya kekuatan baru.

"Maaf, Argantara. Aku butuh ruang untuk bernapas," ucapnya, mencoba meneguhkan hatinya.

Argantara terhenti di tengah lorong ruang osis, tatapannya beralih antara Revatalia dan pintu yang terbuka. Ada ekspresi kekecewaan di wajahnya, namun dia tidak memaksa.

"Baiklah, kalau begitu. Tapi ingatlah, aku akan menunggumu di sini," kata Argantara dengan suara yang penuh pesona.

Revatalia menatapnya sebentar sebelum memilih untuk keluar dari lorong itu. Dia merasakan rasa lega ketika udara segar menyapa wajahnya. Tapi di balik lega itu, ada tidak pastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Maka, dengan langkah yang mantap, Revatalia memilih untuk menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri. Dia tahu perjuangan belum berakhir, namun dia siap menghadapinya dengan keberanian yang baru dia temukan.

Dan di bawah langit yang terluka oleh perjuangan mereka, Revatalia melangkah maju dengan keyakinan bahwa dia bisa mengatasi semua rintangan yang menghadangnya. Tetapi saat mengatasi semua rintangannya Revatalia tentu saja susah menghilangkan, memikirkan Argantara.

Revatalia meninggalkan Argantara di ruang osis bersama kakak alumni untuk pergi ke kelas dan belajar. Ketika dia akan memasuki kelas, Angel, adiknya Argantara, bertanya tentang kakaknya yang sering memaksa Revatalia.

"Rev? gue mo tanya?". Tanya Angel.

"Iya". Jawab Reva

"Kakak gue tumben suka maksa kamu? apa jangan dia suka lagi?".

"Apaan sih, gaklah. Gue ajah gak suka."

"Gak papa kali jadi punya kakak ipar".

"Serah eloh deh?".

Revatalia meninggalkan Angel untuk duduk dan fokus pada pelajarannya. Revatalia meninggalkan Angel untuk duduk dan fokus pada pelajarannya. Jam pulang pun berbunyi, Reva mengajak pulang Bulantasari bersama. Tetapi Bulantasari telah menolak tawarannya untuk pulang bersama, mengatakan bahwa dia ingin pergi bersama Jefan. Meskipun agak kecewa, Reva memutuskan untuk pulang sendiri.

Saat dia tiba di parkiran, mata Reva menangkap sosok Argantara yang duduk di atas motor, menunggunya. Dia merasa sedikit terkejut karena tidak menyangka Argantara akan menunggunya. Ketika melewati tempat parkir itu, suara Argantara memanggilnya.

"Reva?" panggil Argantara, suaranya penuh dengan kehangatan. "Kamu keluar terlalu lama, aku menunggumu."

Reva menatapnya dengan ekspresi campuran antara kejutan dan ketidaksenangan. "Hei, aku tidak mengajakmu untuk pulang bersama, kan?" sahutnya dengan nada agak tinggi.

Argantara tersenyum, "Hei, aku sudah bilang sebelumnya, bahwa aku akan terus memaksa kamu untuk pulang dan pergi bersama."

"Dan aku sudah bilang sebelumnya juga, bahwa aku tidak mau," jawab Reva dengan keras.

Argantara terkekeh, "Tapi itu tidak menghentikanku untuk mencoba, kan?"

Reva menggelengkan kepala, tetapi pada akhirnya, dia juga tersenyum. Mungkin pulang bersama Argantara tidak akan terlalu buruk, pikirnya dalam hati.

Mereka berdua pun kemudian pergi meninggalkan sekolah, berjalan bersama di bawah sinar matahari senja, menuju rumah masing-masing dengan cerita-cerita hari itu sebagai pengiring langkah mereka.

ARGANTAREVA (ARGANTARA & REVANATALIA) End Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang