Jauh dan Dekat

8 1 0
                                    

Rendra, 2018

Di dunia ini, hal paling kubenci adalah pembohong. Hal yang tidak akan bisa aku terima, bahkan sekalipun itu teman. Jika mereka menipu, silahkan saja. Anggap saja aku tidak mendengar kalian, meski aku tahu kalimat yang diucapkan adalah tipuan. Tidak masalah. Asal dengan satu syarat, jangan paksa aku akan mengikuti omong kosong itu. 

Dan, di hari itu terjadi.

Tidak. Dia bukan temanku. Itulah yang aku kerap ulangi. Dia yang aku kenal sangat baik, entahlah apa beliau juga menganggapku demikian, karena aku yang mengkhianatinya. Ironis bukan?

Sesuatu yang aku benci, kini meluap. Memakan setiap inci bagian dariku. Harus aku telan butir pengobatan yang aku paksa jalani. Demi menembus dosa-dosa, sambil mengharapkan sesuatu yang kosong. 

Setiap hari, aku berlari. Kata dokter, olahraga akan mengisi kepalamu yang kosong. Rasa sakit itu hilang perlahan, terganti lelahnya tubuh. Benarkah? Bahkan aku masih bisa melihat wajahnya, terpampang di tetesan keringat. Dengan nafas terengah aku berusaha mengendalikan detak jantung.

Apakah dokter itu menipu juga?

Seperti dokter-dokter sebelumnya?

Bagaimana dengan obat-obat yang mereka berikan?

Hampir saja aku terjatuh setelah mencoba bangkit, seseorang menepuk pundak. Rambutnya berantakan, dan aku kenali segera wajah itu. Si pembual dan kakinya yang cacat. Dia, aku ingat betul siapa yang membuat sebelah kakinya menghilang. Ya, itu cerita lain.

"Lu pucat, Ren."

Cih, dasar tukang ikut campur. Segera aku tepis tangannya, sementara dia menghela. Aku tahu, dia itu si pembual yang senang berpura-pura saja. Begitulah, sekalinya pembohong akan tetap menjadi pendusta, dan dia pernah menjebak kami semua. Demikian, aku anggap kaki yang hilang itu sebagai bayaran setimpal. Tipuan yang diganti dengan fisik. Menurutku tak ada salahnya menghukum mereka seperti itu.

"Kalau lu pingsan, gua panggil Dika, ya" lanjutnya seraya berbalik. Langkahnya terseok, mungkin karena gesekan antara kaki palsu. Lagipula, ini salahku, karena memilih jalan komplek dekat rumahnya. Sepertinya aku terlalu terburu-buru memilih wilayah, sebab celotehan kepalaku semakin menjadi semenjak waktu subuh berakhir.

Aku anggap dia akan memperhatikan dari jauh. Jaga-jaga, jika aku benar hilang kesadaran. Ya, lebih baik aku hidupkan mesin, lalu berangkat kerja. Mungkin aku butuh mandi. Ah, lupakan, tidak ada yang berani menegurku di kantor. Perlahan aku ambil ancang-ancang untuk mengeluarkan mobil, dan suara-suara itu masih berdesis di kepala. Memanggil dari jauh. Suara yang sangat lekat dengan telinga.

"Rendra! Maaf, maaf, maaf."


AriaenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang