Suara Maaf

5 0 0
                                    

Aku tanyakan, mengapa dia terus meminta maaf?

Berulang kali, dan menelusup ke dalam gendang telinga?

Bertahun-tahun!

Di samping Mardika sudah meremas celanaku. Terkadang dia mencubit, agak nyeri rasanya. Tatapan itu menandakan jika aku sudah melewati batas. Aku bahkan tidak sadar sudah memukul meja. Tubuhku menegang, dan kali ini ada air mata yang menetes. Dia segera mengambil kotak tisu di rak, menggesernya tepat di pinggir meja.

"Jangan lu marah-marah di sini, sat! Ini meja kerja gua!"

"Ah ya, maaf."

Dia mengerucutkan bibir, lalu melipat lengan. Sementara aku sibuk mengeluarkan lendir hidung dan tetesan air mata yang masih mencoba menyelinap keluar. Mardika menepuk pundak, sesekali memukul agak keras sedikit.

"Besok lu mau ke dokter lagi?" tanyanya sambil berganti posisi. Dia menyesap secangkir teh yang masih mengepul, setelah setengah isinya tumpah.

"Besok?! Ya, sekarang!"

"Santai dong! Cuma tanya. Gua kira lu mau ke lapas."

"Oh."

"Apa oh?"

"Gak jadi. Besok aja. Gua kurang enak badan."

Mardika tidak membalas, hanya mengecap rasa teh kemudian manggut-manggut saja. Selama ini, dia sudah memahami masalah yang aku alami. Hanya Mardika saja yang aku percayai. Entah apa yang membuatnya begitu terbuka dengan permasalahan ini. Jujur saja, terlihat sedikit mencurigakan pada awalnya. Ketakutan ini benar-benar membuatku muak akan sikap pertolongan. Begitupun dengan sosok Mardika.

Dengan mata kanannya yang buta, karena dipaksa, dan tertusuk.

Ya, mungkin dari situ kami mulai berbagi posisi sepatu yang sama. Akhir cerita yang abu-abu. Kini dia bekerja dengan salah satu badan amal kemanusiaan. Mengurus keluarga tanpa rumah, kaum imigran, mitra bisnis, dan menjadi asisten si pemilik. Aku berpikir tenaganya seperti diperas, tapi penampilan luar tidak menunjukan hal tersebut.

Sialan, kalau Awan mengambil untung dari Mardika. Tidak akan pernah aku maafkan.

"Terus, bagaimana obatnya?"

"Cih! Gak guna!"

"Keliatan, sih. Lu lebih cerewet. Berapa kali lu halusinasi dalam sehari?"

"Ngapain gua hitung! Duh, kapan lu pulang? Ketemuan di Rumah sakit aja," jawabku beralih balasan. Tidak mungkin memberinya fakta jika aku seharian menahan suara dari kepala itu. Mardika akan menemaniku nyaris seharian dengan menginap di kontrakan, dan terus memasak resep yang dia pelajari dari buku. Maksudku, yang benar saja? Memangnya peran dia sebagai istri?!

Lagipula, aku tidak nyaman dengan bau dapur yang hangat.

"Oke! Sekalian gua nginep, ya!"

Nah, kan. Ini karena emosi yang tidak terbendung itu. Sekarang, bulu-bulu hidungnya mencium sesuatu yang tidak beres. Di sisi lain, aku tidak bisa menolak. Jika tidak, dia akan membanting pintu lalu marah-marah. Lebih buruk lagi, dia akan berusaha memutar dan menghindar, karena aku sudah tak menghargainya sebagai teman. Hah, terserah saja. Aku berusaha untuk tidak membuat api, karena hanya dia yang tahu bagian tergelap yang aku hindari.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AriaenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang