🦋 TSB : Rahasia dan Hati🦋

5 2 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Gak semua hal harus lo ketahui, kadang sebuah ketidaktahuan itu jauh lebih baik."

🦋🦋🦋

Di rumah aku hanya sibuk memandang surat tulisan tangan yang tintanya tak luntur sedikitpun walau sudah dua tahun tersimpan. Tulisan tangan yang cantik itu juga tiap rangkaian katanya yang disusun tak kalah indah dan menghangatkan hati
tapi siapa sangka sekarang penulisnya berubah jadi dingin dan melupakan semua yang sudah dia tulis di dalam surat ini.

Padahal aku berniat untuk mengukir kenangan terindah ini sebagai kisah yang abadi.

Ekspresi datarnya masih terngiang-ngiang jelas di kepalaku, sangat jauh berbeda dengan Abhiraka Belva yang kukenal dulu.

"Raka... masa kamu beneran lupa sih sama surat yang kamu tulis untuk aku...." gumamku dengan hati yang perih. Sangat disayangkan rasa rinduku bertepuk sebelah tangan.

Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam dimana sudah waktunya makan malam. Rasanya agak malas, tapi aku memaksakan diri untuk turun ke bawah—menuju ruang makan yang sudah diisi oleh ketiga orang rumah.

Papa tiriku, Mama dan Elena, adik tiriku.

"Kamu kok baru turun sih, makanannya keburu dingin lho!" omel Mama sembari sibuk menata hidangan malam kami.

"Ah iya maaf," ucapku pelan dan mengambil tempat duduk di samping adikku.

Aku bisa melihat bagaimana Papa tiriku dan Mama sangat memperhatikan Elena yang usianya lebih muda dua tahun dariku. Mereka bilang, Elena adalah gadis yang manis dan ceria sehingga membuat suasana rumah menjadi lebih menyenangkan.

Berbeda denganku yang pendiam dan membosankan.

"Pa, Ma, Elena tadi daftar lomba story-telling tingkat kota terus katanya kalo lolos bisa langsung maju ke Provinsi dan tampil di depan Pak Menteri Pendidikan langsung!" celoteh Elena penuh gembira.

Papa bertepuk tangan penuh bangga, "Elena hebat! Emang anak Papa ini selalu juara!" ujarnya yang merayakan betapa membanggakannya memiliki putri semata wayang seperti Elena.

Aku praktis melirik ke arah Mama yang menatapku tajam. Inilah momen yang sangat kuhindari, karena setelah Elena berceloteh tentang prestasinya di meja makan, malamnya aku berakhir kena semprot habis-habisan oleh Mama di kamarku.

Aku tidak boleh kalah dari Elena kata Mama, padahal aku juga bangga kalau adikku dapat prestasi namun perasaan itu hanya kumiliki secara sepihak, karena Elena lebih senang melihatku menderita kena omelan Mama. Itulah kenapa dia sengaja mempamerkan prestasinya di meja makan.

Those Stupid ButterfliesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang