Aku Sayang Kakakku

4 0 0
                                    


Sudah 4 tahun berlalu dari kelahiran kembali ku sebagai putri mahkota.

~

Aku berlari ke arah Kak Frey sembari melebarkan tanganku lalu memeluknya, ia hanya terdiam lalu menoleh ke arahku,

"Halo nona manis, selamat pagi!" katanya dengan senyum lebarnya,

"Alo Kak Frey!" seruku memeluknya, ia mengangkatku di udara dan mengendongku,

"Kamu mau kemana Mer?" tanyanya kepadaku,

"Mau ke taman!" jawabku bergembira,

"Kak, aku juga mau!" bentak sebuah suara, anak yang lebih tua dariku adalah anak dari selir ayah, memang sifatnya yang paling buruk diantara keempat anak ayah. Segala permintaannya selalu dituruti oleh ayah, sampai aku lahir, ia menjadi anak yang terasingkan oleh ayah.

"Aku tidak mengajakmu Am!" balas Kak Frey sembari meninggalkan Kak Amna yang mulai menangis di lantai.

~

Aku memandang diriku di kehidupan yang kali ini di cermin, mataku biru cerah dengan rambut yang berwarna coklat gelap, tubuhku masih mungil, ku ingat lagi di kehidupan sebelumnya aku meninggal di umur yang sama, dalam hati mungilku aku hanya bisa berdoa semoga aku diberikan kesehatan dan dapat menjalani kehidupan ini dengan baik.

~

Aku mengetuk sebuah pintu biru tua yang sangat besar bagiku,

"Kak Abbas?" tanya suara kecilku,

"APA LAGI?!" bentakannya membuatku terkejut, terduduk lalu menangis, "eh maaf Mer, ku kira si Amna," pintu dibuka dan Kak Abbas menggendongku dengan penuh kasih sayang,

"Kak Abbas," kataku sembari terisak,

"Maaf ya nona manis, maafin kakak ya," katanya memohon maaf kepadaku, "Amerta mau main prajurit nya kakak? Boleh lho!" serunya berusaha membangkitkan senyumku lagi,

"Mau!" jawabku dengan semangat.

Sebuah replika kerajaan yang sangat besar ada di dalam sebuah kotak kaca, prajurit, menara, bahkan hewan-hewan bisa dipindahkan, semua ditata sedemikian rupa karena sejak kecil Kak Abbas memang akan dijadikan pemimpin perang oleh ayah.

"Ni, Amerta boleh tata kerajaan nya sendiri," katanya sembari tersenyum ke arahku dan mengeluarkan beberapa rumah warga lagi. Belum selesai Kak Abbas mengeluarkan seluruh mainannya ada seseorang yang mengetuk pintunya, dan membukanya dengan perlahan,

"Bas?" Kak Frey masuk dengan membawa sebotol susu,

"Ya kak?" jawab Kak Abbas mendekatinya, 

"Tadi ada apa?" tanya Kak Frey sembari memberi botol susu kepadaku,

"Oh... terdengar kah sampai ruanganmu?" Kak Abbas balik bertanya kepadanya,

"Tidak, tapi sepertinya ayah mendengar tangisan Amerta, tadi ayah sempat bertanya kepadaku, jadi aku menghampirimu," jelasnya, muka Kak Abbas seketika pucat mendengar hal tersebut, aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan,

"Maaf kak, tadi Abbas ngak sengaja bentak Amerta, aku kira Amna lagi, karena kemarin dia matahin mainanku kak," jawab Kak Abbas dengan lesu,

"Oh baik lah, aku akan cari alasan agar kau tidak dihukum," balasnya menenangkan Kak Abbas,

"Terima kasih banyak kak!" serunya kembali tersenyum, beberapa detik kemudian ayah masuk ke kamar Kak Abbas tanpa mengetuk, 

"Ayah?" mereka berdua sama-sama melihat kearahnya,

"Kalian apakan adik kalian?!" tanya ayah dengan nada kesal,

"Ayah, kami bisa jelaska ..." belum selesai Kak Frey berbicara, aku menghampiri ayah dan meminta pelukan darinya,

"Tadi Amerta ndak sengaja jatuh yah, jadi Amerta nangis," kataku memeluknya,

"Oh begitu rupanya, ayah kira kakak-kakakmu ini melakukan hal buruk kepada nona manis ayah," ujar ayah yang mulai tenang kembali sembari melebarkan senyumannya,

"Mana mungkin yah kita mau sakitin adik cantik kita satu-satunya ini," tambah Kak Frey sembari memberikanku 2 jempol,

"Baik-baik, jaga Amerta dengan baik ya, ayah ada rapat," katanya sembari meletakkanku kembali di tempat main,

"Semangat ayah!" seru Kak Frey dan Kak Abbas berbarengan,

"Ih Mer, kamu yang terbaik!" seru Kak Abbas memelukku dengan erat.

Setelah selesai bermain, aku kembali ke kamarku, kasur yang kuinginkan sudah dipasang oleh para dayang, kasur berwarna pink dengan beberapa hiasan bertema lautan di sekitarku, membuatku teringat akan 3 kehidupanku yang sebelumnya, dimana aku menjadi anak dari seorang nelayan. Seru rasanya mengingat kembali suasanya kali itu, tenangnya lautan dengan gemericik ombak yang menemani, ikan lumba-lumba yang melompat dengan gembira, mutiara cantik yang selalu diberikan ayah setelah ia pulang bekerja, dan seekor anjing yang selalu menemani diriku.

"Ah... rindu rasanya kembali ke kehidupan itu, bersama Max,"  batinku sembari mengingat kegirangan anjingku di kehidupan sebelumnya,

"Besok minta ah sama ayah, kali aja dibolehin ya kan," batinku lagi sembari tersenyum kecil sebelum memejamkan mataku.


Amerta Dan Kehidupan SekiannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang