Terdengar ada yang menekan bel apartemen. Sudah selarut ini, siapa? Apakah Nala? Mungkin dia sudah membaca pesan singkatku dan langsung ke sini. Aku beringsut ke arah cermin merapikan sedikit rambutku yang berantakan dan memulas sedikit bedak karena wajahku tampak pucat dan sembab.
"Na...." Saat pintu terbuka aku hanya bisa tertegun. Tampak punggung laki-laki membelakangiku. Itu... ya, Rama. "Ada perlu apa?" Aku berusaha mengatur suara seperti biasa.
Dia membalik tubuhnya ke arahku, "Oh, ini, aku melihat kotak kue di depan sini. Apa ini dibuang? Hm... bentuknya sudah nggak seperti Opera Cake, mungkin lebih mirip...."
"Iya, itu dibuang." Aku buru-buru memotong kalimatnya.
"Kenapa?"
"Itu kue gagal. Jadi sengaja aku buang."
"Oh ya?" Dia membuka kotaknya dan mencolek sedikit kue dengan ujung telunjuknya,"Rasanya lumayan."
"Aku sudah bilang, itu sengaja aku buang!" Aku merampas kotaknya secara paksa, dan membawanya ke tempat sampah. Aku membuangnya di sana.Seandainya aku juga bisa membuang perasaanku semudah aku membuang kue itu.
Rama menyentuh tanganku, "Aku minta maaf kalau kata-kataku waktu itu terlalu kasar."
"Yang mana? Aku nggak ingat. Karena cara bicaramu memang selalu kasar jadi aku sudah biasa."
"Ya, syukurlah kalau kamu sudah melupakannya. Aku cuma mau kita...."
"Sudahlah, aku mengerti. Cinta nggak bisa dipaksakan, kan? Kayaknya selama ini aku terlalu memaksamu untuk membalas cintaku, mungkin selama itu kamu begitu terganggu dengan sikapku ya? Hehe.... Tapi sekarang aku sudah mengerti. Jadi sudah nggak apa-apa." Aku berbohong! Aku berbohong! Aku mati-matian menahan air mataku tumpah, aku mati-matian memaksa senyum di bibirku mengembang.
"Baguslah kalau kamu mengerti. Aku yakin di luar sana ada laki-laki yang lebih baik buatmu."
Tapi di luar sana nggak akan ada laki-laki yang aku inginkan sebanyak aku menginginkanmu memberikan cintanya padaku. Nggak akan ada Rama!
Aku memaksakan kepalaku untuk mengangguk dan tersenyum. Sebelum pergi dia sempat mengusap lembut kepalaku, aku menggigit bibir bawahku menahan air mata. Dia berbalik meninggalkanku dan masuk ke dalam apartemennya. Terdengar suara pintu apartemennya tertutup, seolah itu adalah bunyi pintu hatinya yang sekarang benar-benar tertutup. Meski aku tidak ingin menyerah mendapatkan balasan cintanya, tapi sekarang sudah tiba batasnya. Batas di mana aku harus menyerah. Rama akan menikahi wanita lain. Tidak hanya itu, wanita itu pun sedang mengandung. Ya, mengandung anaknya. Sudah tidak ada kesempatan lagi.
Kenapa aku bisa sebodoh ini, menunggu selama dua belas tahun... menunggu sendirian... mencintai sendirian... patah hati sendirian.... Bodoh!
Aku masuk ke dalam apartemen dan menangis sejadi-jadinya di balik daun pintu yang tertutup rapat. Kami hanya dibatasi sebuah dinding apartemen tapi rasanya dia ada sangat... sangaaaaat... jauh dari jangkauanku.
##
"Mungkin Rama dan Shinta hanya berjodoh dalam kisah perwayangan, bukan dalam kisah cintaku." Aku meneguk secangkir teh yang Nala siapkan.
Hari ini aku berkunjung ke rumahnya, dan mungkin akan menginap beberapa malam di sini hingga perasaanku sedikit membaik. Tinggal di apartemen sendirian hanya membuatku semakin kacau. Setiap melihat pintu apartemennya aku teringat dia. Saat aku turun naik lift mataku pasti ingin menangis, teringat saat-saat kami ada dalam satu lift. Lorong apartemen yang beberapa kali kami lalui bersama pun jadi tampak menyedihkan setiap aku melewatinya. Semuanya yang ada di apartemen itu hanya membuatku ingin menangis karena semakin mengingat Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apakah Kita Bisa Bertemu (Lagi)
RomanceSebuah kisah sederhana tentang kisah cinta masa kecil, penantian, janji, rindu, juga... kebingungan. Semua rasa yang dikemas dalam sebuah paket bernama kenangan. Shinta dan Rama berpisah setelah 12 tahun lalu. Hanya sobekan foto yang menjadi benang...