10

192 13 0
                                    

Baru saja Rani tiba di Shanghai setelah perjalanan panjang dari Madrid, Ankara, Haidarabad, hingga sampai di sini beberapa jam yang lalu.

Tubuhnya sangat lelah. Hampir dua hari ia berada dalam pesawat dan di bandara. Kadang ia harus tinggal beberapa jam untuk transit. Semua melelahkan, terbang maupun duduk menunggu di bandara.

Setiap singgah di suatu negara ia ditemani oleh salah satu staf kedutaan. Mulanya ia mengira akan tinggal beberapa hari di Turki. Namun setibanya di Ankara, ia diajak terbang ke Istambul karena anaknya sempat tertangkap CCTV di sebuah perhentian bus di kota itu.

Tiba di Istambul, seorang staf kedutaan menemuinya bersama seorang interpol. Mereka mengatakan bahwa mereka dikecoh. Saat Radit terlihat di Istambul, anak itu juga terlihat di India di waktu yang sama.

Segera ia terbang ke India. Dari Rajiv Gandhi Airport, ia meneruskan penerbangan lokal ke Begumpet Airport, bandara terdekat dengan Haidarabad, tempat terakhir kali anaknya terlihat. Interpol sudah mengintai rombongan yang menyandera anaknya karena diperkirakan mereka juga membawa narkoba dan senjata ilegal.

Mendengar itu pikiran Rani semakin tak karuan. Dalam keadaan lelah dan mendapat berita yang tak pasti membuatnya down. Seorang staf wanita yang menemaninya hanya bisa terdiam.

Rombongan itu terus bergerak, mungkin menghindari penyergapan. Rani disarankan berangkat ke Shanghai dan menunggu di sana. Interpol akan menghadang mereka di perbatasan tempat diperkirakan mereka menyelundupkan senjata dan narkoba.

Maka di sinilah Rani sekarang. Sendirian di negara asing.

Ia merasakan ponselnya bergetar. Ternyata dari Arshaka. Rani segera mengangkatnya. Ada setitik rindu dan berharap Arshaka mau mendengar keluh kesahnya, kesedihannya.

"Halo."

"Kamu di mana sekarang?" Suara Arshaka terdengar dingin, bagai pisau es menggores jantung Rani.

"Baru saja sampai di Shanghai."

"Kapan kamu pulang?"

Rani mengerjapkan mata karena terkejut. Apakah Arshaka merindukannya?

"Proyekmu terbengkalai. Kita sudah rugi ribuan dolar."

Rani menghembuskan nafas kecewa.

"Aku tidak tahu. Aku akan pulang jika Radit sudah ditemukan."

"Kalau dia tidak ditemukan bagaimana? Kamu tidak akan pulang? Di sini ada Arimbi, Rani! Anakmu bukan cuma Radit!"

Rani mencelos. Dia tahu ini hanya alasan Arshaka untuk memarahinya. Ia menyempatkan diri menelepon Arimbi tiap hari dan tahu bagaimana putrinya itu. Rani juga kecewa karena Arshaka seperti tidak mengharapkan Radit ditemukan. Atau lebih tepatnya ayah anaknya itu tidak peduli Radit ditemukan atau tidak. Ia hanya peduli pada perusahaannya yang merugi.

"Apa hanya itu yang kamu pedulikan Mas? Kerugian perusahaanmu? Apa tidak ada sedikit pun kepedulianmu pada Radit? Apa pernah kamu menanyakan perkembangan pencarian Radit? Kamu bahkan tidak peduli!" teriak Rani di telepon.

Tidak ada jawaban dari Arshaka. Entah lelaki itu mendengarkannya atau tidak.

"Berbuatlah semaumu. Berpikirlah semaumu. Aku sudah lelah Mas. Suka atau tidak aku akan terus mencari Radit sampai ketemu. Kamu bisa pecat aku kalau memang kamu rasa aku sudah merugikan perusahaan."

Rani menutup teleponnya dan kemudian menangis tersedu-sedu. Ia tahu pernikahannya sudah tidak bisa diselamatkan sejak tiga tahun yang lalu. Saat itu ia juga baru melihat kenyataan bahwa selama ini hanya dia yang mencintai Arshaka sepenuh hati, sedangkan pria itu tidak pernah menyerahkan seluruh hatinya padanya. Hati Arshaka sepenuhnya masih milik Widuri. Rani tak pernah menjadi pemiliknya, bahkan hingga lima belas tahun pernikahan mereka.

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang