Cinta Salah Tujuan

314 5 0
                                    

"Some cupid kills with arrows, some with traps"

- William Shakespeare

"So Charming!" aku membatin dengan mata yang tidak berkedip.

"Ati-ati itu iler jatuh, Mak!" Dena membuyarkan lamunanku. 

"Aneh! Ga pernah bisa lihat orang senang," ucapku sambil mendelikan mata. Konon kata orang sih aku punya delikan maut. Yang membuat orang yang tak kenal bisa menjauh dan men-judge diriku jutek. Bayangkan! Tempo hari saat ospek di jurusan, kakak senior tak ada angin tak ada badai memaki diriku, cuman karena tak sengaja aku memandang aneh kepada kedua sepatunya. Gimana tak aneh? Dia pakai sepatu di kaki kanan dan sandal jepit di kaki kirinya. Kontan saja saat dia berdiri di depanku, mataku menangkap hal ganjil tadi. Ah, dasar memancing masalah tingkahnya.

"Kira-kira Jordan punya cowo ga ya, Den?" tanyaku tak penting.

"Cowo? Lu kata dia gay?" Dena tertawa terpingkal-pingkal.

"Siapa yang gay?" suara seorang lelaki yang sedikit asing menimpali di belakang kami. Kami berdua pun menoleh aneh.

"Ga punya urusan lain ya sampai-sampai denger percakapan orang lain?" tanyaku sinis.

"Maaf tak sengaja. Tapi kayanya seru ngomongin gay. Siapa yang gay?" dia tertawa lagi, "Masih inget gue kan?"

"Masih lah, benjolnya juga masih ada," Dena memukul jidatku yang masih sedikit nyeri.

"Bawa bola basket ga sekarang? Agak parno nih takut melayang lagi," ujarku.

"Kali ini aman. Gua Wilcak," dia kembali memberikan tangannya.

"Iya udah tau, Cicak!" 

"Bukan, Wilcak!" dia memberikan penekanan kali ini di huruf "L"nya. Sepertinya sudah biasa orang salah mengucapkan namanya yang buatku agak janggal.

"Wilcak apa artinya?" Dena penasaran. Aku pun sebenarnya penasaran tapi gengsi.

"Mau tau apa mau tau banget?" dia malah bercanda.

Asli lelaki ini yang selera humornya paling garing diantara para teman lelaki yang kukenal. Nyesel juga aku bertanya. Tapi Dena sepertinya klik banget dengan dia.

"Mau tau ... banget!" ucapnya manja. Tumben ni sikap Dena lunak dengan lelaki!

"Ceritanya ga panjang kok, tapi miris. Jadi nama gue, Wilcak Putranto. Yang ngasih nama bukan orang tua atau sanak saudara. Tapi kantor catatan sipil saat salah ngasih huruf "L" di nama depan gue. Titik!"

Hah, serius?! Salah ketik waktu bikin akte. Dena dan aku pun melongo tak percaya.

"Maksudnya nama kamu harusnya Wicak Putranto?" Dena masih penasaran.

"Yup!" ujarnya mantap, "Ortu terlalu malas untuk ganti karena urusan terlalu berbelit. Pas mereka minta revisi, si pengetik akte bilang dengan santainya, "Hapus aja, Pak, pake tip-ex!""

Aku masih bisa menahan tawa meski berat, senyumpun harus hati-hati karena bisa kebablasan tertawa.

"Ketawa aja, sudah biasa namaku dihina. Tapi aku yakin kok, namaku yang tak biasa ini akan membawa keberuntungan tersendiri buatku!"

Aku dan Dena sudah tidak kuasa menahan tawa, apalagi karena sekarang sudah di-acc untuk tertawa lepas. Suatu hari nanti saat akan punya anak aku tak maulah punya nama terlalu rumit, daripada harus mengadakan pesta bubur putih bubur merah buat ganti nama.

Tapi dalam hati aku salut, banyak temanku jaman SMP dulu suka mengolok-olok satu sama lain dengan nama panggilan salah satu orang tuanya, kalau tidak mengolok nama kawan yang dianggap silly atau jelek. Dahulu kalau tidak bisa membalas dengan mengejek balik rasanya diri ini sudah tak ada harga diri. Namun kalau hal itu terjadi pada orang seperti Wilcak, yang namanya sudah salah dan aneh bukan karena kesalahan orang tua sang pemberi nama, maka rasanya tak adil kalau masih menelan ejekan puas teman sebayanya.

Lagi pula sebagai pemegang nama aneh, rupa Wilcak tidaklah seaneh namanya. Wajah oval dengan hidung mancung dan alis mata yang tebal. Rambut belah tengah yang sedikit panjang hingga menutup telinga, kulit sawo matang membuatnya terlihat macho. Dan perawakan tinggi dan proporsional sebagai olahragawan pun membuat dia tampak menonjol diantara jajaran anak baru di kampus.

Masih tersisa sedikit ketawa aku memandangnya, dia cuman tersenyum sambil mengangkat bahu, seperti suatu isyarat, "Yah, beginilah adanya!"

Aku jadi malu, malu pada diri sendiri yang sudah menertawai bak guyonan sewaktu jaman SMP dulu. 

"Maaf," kataku, "Habis cerita asal usul namamu antik banget."

"That's okay. Lagian gue suka kok kalau kamu ketawa, dibanding tempo hari yang meringis kesakitan," sambil memicingkan sebelah mata dengan jahil ke arahku dan berlalu ke lapang basket di depan kami.

Pipiku memerah, terasa hangat. Mendadak aku malu, bukan malu yang biasa. 

Suami PendustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang