Tragedi di Hari Pernikahan

814 24 2
                                    

"The highest happiness on earth is the happiness of marriage."

-William Lyon Phelps


Andaikan aku bisa mengatakan hal yang sama.


"Penikahan ini awal neraka duniaku!" umpatku dalam hati, "Bagaimana mungkin kamu setega itu padaku, Wil?"


Kebaya brokat panjang berwarna keemasan kini hanya akan benar-benar menyapu debu. Karena rasa cintaku bagaikan hilang terbang bersama dengan sapuannya. Tak lagi bangga aku mengenakan kebaya dan kain ini berdiri di sampingmu.


Bagaimana perasaan ayah dan ibu? Mau ditaruh di mana muka keduanya? Belum lagi nasib uwa, paman dan bibi yang sekarang mungkin sedang terbengong-bengong melihatmu datang dengan gagahnya sendiri.


Kehebohan dipertontonkan di awal upacara penerimaan pengantin lelaki. Sang pengantin yang diharapkan datang dijemput dengan mobil sewaan Mercedes terbaru harusnya gagah digandeng kedua orang tuanya, bukan digandeng pasangan sahabat-tanpa nikah- yang tak aku sukai.


Mana iring-iringan keluarga besar? Mana sorak sorai keluarga dan tawanya? Semuanya menjadi diam, bingung, penuh tanda tanya!


"Mana orang tuamu?" tanyaku.


Dia diam, memandangku tajam, "Maaf." katanya.


"What?! Masih berani kamu datang sendirian? Masih yakin aku masih mau menikahimu?"


Di ujung sana, Ayah terduduk di kursi, wajahnya sudah merah padam memegang bendonya tak mampu bicara, ibu pun sudah jatuh di pelukan uwa nangis menderai. Aku pun sudah mau roboh, kedua kakiku tak kurasa mampu menopang badanku.


Bagaimana tak kaget, mereka tampak sudah berdiri dengan gembira menyambut kedatangan calon mantu dan orang tuanya untuk pertama kali. Tak sempat berkenalan, tak ada lamaran resmi, tak ada tatap muka TOTAL sebelum hari ini.


Sekarang malah aku yang merasa bodoh, "Kok, bisa percaya begitu saja dengan segala persiapan yang tidak biasa? Kok, bisa orang tuaku pun yakin bahwa lelaki ini bisa menjadi suamiku tanpa kenal orang tuanya?"


Dan benar saja, sekarang semuanya bagai mimpi buruk dan kami terbangun darinya. Kenyataan tak biasa yang membuat kami malu bukan main.


"Kasih kesempatanku untuk menikahimu. Aku tidak perduli apa yang orang tuaku akan katakan. Aku mencintai kamu, Jen!"



Suami PendustaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang