Gempa tau dirinya bukan bangsawan atau orang kaya. Dia hanya putra dari seorang pemilik toko roti. Tak ada yang istimewa dari itu. Namun mungkin adalah keberuntungannya karena memiliki sihir untuk mengendalikan tanah. Memang sihirnya masih sangat lemah, tak layak untuk dibanggakan. Tetapi tetap saja itu sihir yang berguna. Gempa sering menggunakannya untuk membantu Ayahnya atau orang-orang di sekitarnya.
Orang-orang selalu memanggilnya beruntung karena dapat memiliki sihir padahal rakyat biasa sangat jarang memiliki sihir. Kebanyakan sihir hanya dapat dimiliki oleh para bangsawan atau orang-orang kaya. Dan mungkin ini adalah kebenaran, Gempa memang seorang yang sangat beruntung.
Buktinya saja keberuntungannya itu membuatnya dapat menemukan permata biru yang sangat cantik. Jika dia menjualnya, pasti harganya akan sangat mahal. Dan dengan itu dia bisa membantu Ayahnya memperbesar usahanya. Gempa berlari pulang dengan semangat, dia membasuh permata tersebut dengan air dan mengeringkannya dengan kain bersih. Setelah dibersihkan dari tanah yang menutupinya, kini permata biru tersebut nampak semakin berhaga. Pasti harganya akan sangat mahal.
Permata yang sangat cantik. Pikir Gempa sambil mengusap permata biru tersebut.
Tetapi tiba-tiba saja permata itu mengeluarkan cahaya biru yang menyilaukan. Gempa harus menutup matanya karena pancaran cahaya yang dikeluarkan. Begitu cahaya menghilang, permata yang awalnya ada di tangan Gempa juga ikut menghilang. Dia belum sempat panik ketika tiba-tiba terdengar suara.
"Halilintar?"
Huh? Gempa berkedip berkali-kali. Tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya saat ini. Di hadapannya berdiri seorang anak yang tengah membelakanginya dan sepertinya dia yang mengeluarkan suara tersebut. Anehnya tubuh anak itu terlihat tembus pandang. Tunggu, apa mungkin ini adalah hantu seperti yang selalu Ayahnya ceritakan? Tetapi bukankah Ayahnya mengatakan tak akan ada hantu pada siang hari? Apa mungkin sang Ayah membohonginya?
"Halilintar? Kau dimana?"
Anak itu kembali berkata. Dia terlihat menoleh ke kiri dan kanan seolah sedang mencari sesuatu. Atau tepatnya seseorang.
"Um.. Maafkan aku.. tapi kau siapa?"
Anak itu berbalik ketika mendengar suara Gempa. Dia terkesiap begitu pula Gempa. Yang membuat Gempa terkejut adalah betapa miripnya anak tersebut dengan dirinya sewaktu kecil kecuali kedua matanya berwarna biru seperti batu permata. Tunggu. Permata.. warna mata anak itu sama dengan permata biru yang Gempa bawa pulang! Apa permata itu memiliki kaitan dengan anak ini?
"Halilintar?"
"Bukan. Aku Gempa." Saat Gempa mengatakan namanya, anak itu terlihat sedih. Mungkin Halilintar ini adalah orang yang sangat penting baginya.
"Maafkan aku."
Anak itu menggeleng, dia kemudian tersenyum begitu cerah sambil berkata, "Aku Taufan. Roh Angin."
Roh Angin? Jadi anak ini adalah roh? Apa itu yang menjadi alasan tubuhnya nampak transparan? Tunggu dulu, bukankah Roh Angin hanya mitos semata? Sudah beratus tahun tak pernah ada yang mampu memanggilnya hingga diyakini sebagai mitos semata. Tak ada seorangpun juga yang bisa mengendalikan angin selama ratusan tahun ini. Dari berbagai buku yang Gempa baca, selalu dikatakan karena angin adalah elemen yang sangat bebas yang membuatnya tak dapat dikendalikan atau dikontrol oleh siapapun.
"Kau benar-benar Roh Angin?"
"Ya! Dan kau mengatakan namamu adalah Gempa, bukan?" anak di depannya, tidak, Roh Angin di depannya terlihat sangat ceria. Padahal awal kemunculannya dia terlihat kebingungan kemudian terlihat sangat sedih saat mengetahui Gempa bukan orang yang dia cari.
"Iya.."
"Kenapa kau terdengar ragu? Apa namamu bukan Gempa?"
"Ti-tidak! Bukan begitu! Hanya saja.. aku bingung bagaimana harus berbicara denganmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Topaz
FanfictionBagaimana bisa dia bersinar begitu cerah? Cahaya keemasan yang begitu indah hingga membutakan mata Taufan. Cerita kedua dalam seri 'Sapphire'