BAB 1

10 2 0
                                    

Ada sebuah warna yang mendominasi.

Ketidakhadiran sebuah pelita di dalam ruang tertutup menimbulkan pesona hitam yang dominan. Pesona gelap menguasai setiap sudut ruangan, tak membiarkan secercah cahaya menembus dominasinya. Ditengah kendali pesona hitam yang mendominasi ruangan tersebut, seorang pemuda tengah duduk di sisi ranjang dengan mata yang sedikit terpejam dan bibir yang menguap, sepertinya dia baru saja bangun dari tidurnya. Netra pemuda itu meneliti keadaan sekitar, hanya ada kegelapan di mana-mana. Ia pun beranjak dari tempatnya, berjalan meraba-raba untuk menyalakan saklar.

"Ah, aku lupa membelinya," gumam Marvin ketika tidak adanya perubahan.

Dia Marvin, seorang pemuda yang membenci warna hitam. Baginya hitam adalah bentuk kesuraman, kesedihan, ketakutan dan kerahasiaan. Dia tidak ingin warna hitam menguasainya, itu sebabnya dia sangat menyukai banyak warna kecuali hitam. Jika kegelapan tidak mendominasi kamarnya, niscaya warna-warni bunga akan menampilkan keelokkannya di setiap sudut kamarnya.

Di dalam nuansa hitam, Marvin berjalan perlahan mendekati sebuah jendela yang tertutup tirai. Tangannya terulur menyibakkan kain yang mendorong pesona gelap semakin kuat, seketika nuansa hitam perlahan memudar berganti pesona kelabu yang memancar dari balik jendela. Netranya menatap ke arah butiran-butiran bening yang jatuh mengenai jendela kamar menyebabkan jarak pandangnya memburam. Tiba-tiba cahaya bersinar terang menjadikan sorot mata Marvin ikut bersinar, diikuti alunan melodi yang kuat dan membuat siapapun terkejut mendengarnya. Sepersekian detik setelahnya, alunan rintik hujan semakin terdengar keras di telinganya.

Detik demi detik terus berlalu, namun Marvin tetap berdiri diam di depan jendela kamarnya. Hingga pandangan marvin tertuju pada dua sorot cahaya kuning muda di luar sana. Sorot cahaya itu tampak bergerak dari tempat yang diyakini Marvin adalah pintu gerbang menuju garasi rumahnya. Tunggu dulu, 'rumahnya' kurasa itu bukan pilihan kata yang tepat. Sejak kapan Marvin memiliki rumah atau tinggal di rumah? Dalam benaknya ia menertawai kesalahan pemilihan 'kata' itu. Sepertinya 'kontrakan' adalah pilihan kata yang tepat untuk tempatnya saat ini atau mungkin tidak? Kembali dengan cahaya yang menuju garasi, sorot itu mampu membuat Marvin tersenyum mencipta sebuah bulan sabit di matanya, mengalahkan kuasa hitam disekitarnya, manis sekali. Tak berselang lama Marvin menutup kembali tirai di depannya bersamaan dengan itu hilang pula bulan sabit di matanya.

***

Langit gelap perlahan menyingkir digantikan dengan goresan warna jingga yang semakin lama semakin menguning. Sang surya belum sepenuhnya menunjukkan keelokkannya, tetapi seorang pemuda telah rapi menunjukkan ia siap untuk menyongsong hari. Kaos putih dibalut dengan hoodie selalu menjadi ciri khasnya, tak lupa sebuah tas ransel berwarna navy telah tersemat di bahu kanannya.

Pemuda itu keluar dari kamarnya di lantai dua menuju dapur, disana dia bertemu seorang wanita paruh baya yang sedang berkutat dengan bahan masakan. Aroma minyak panas beradu dengan bumbu-bumbu dapur menguar di seluruh penjuru ruangan, mengusik indera penciumannya.

"Selamat pagi, Bi Inah," sapanya pada wanita paruh baya itu.

"Selamat pagi, Den Marvin."

Marvin meletakkan ranselnya di atas meja dapur, dia mengambil sebuah lunch box yang sudah terisi makanan kemudian memasukkannya ke dalam ranselnya. Kegiatan seperti ini selalu menjadi rutinitasnya setiap pagi.

"Semalam setelah hujan mereda 'mereka' berangkat lagi, Den," ujar Bi Inah tiba-tiba, kala pandangannya tertuju pada Marvin yang tampak memandang sebuah pintu berwarna coklat tua. Terdengar hembusan napas kasar dari Marvin.

"'Dia' juga belum keluar kamar sedari kemarin malam. Saat Bibi ketuk pintu kamarnya untuk mengantarkan makanan, tidak ada jawaban dari dalam." Ucapannya pelan, namun mampu membuat Marvin seketika menoleh kepadanya. Raut wajahnya datar, tetapi sarat akan makna.

Album FotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang