chapter 21

161 4 0
                                    

13:11

BACK IN TIME...

Gedebuk!

"Aduh!"

Komandan Yai mendorongku, menyebabkan punggungku menyentuh tanah..

"Aku tidak melakukan apa pun." Komandan Yai berteriak sambil menunjuk ke arahku. "Dia gila! Dia tidak peduli telanjang di mana pun."

"Tidak! Aku tidak melakukan itu" teriakku.

"Kainnya terbuka ketika aku bangun. Aku mencoba memperbaikinya tapi tidak bisa, dan Komandan Yai tidak membantu ku."

Komandan In terdiam beberapa saat, lalu tertawa terbahak-bahak.

Pada akhirnya, Kapten Mun dipanggil untuk menyelamatkan hari itu. Suasananya sangat canggung. Kapten Mun mengatupkan bibirnya erat-erat sambil buru-buru mengikatkan kain itu untukku. Wajah Komandan Yai masih merah dan hijau, terlihat seperti sedang menahan marah. Komandan In mencoba untuk tetap memasang wajah serius demi kakaknya tapi gagal. Perut dan lehernya menegang menahan tawa. Kemudian dia mengikuti saudaranya, yang keluar dari tenda.

Menjelang pagi, aku menjadi bahan pembicaraan di antara para kusir dan prajurit pemberani.

"Beraninya kau, Ai Jom, membuka bajumu di tenda komandan. Aku salut padamu." Kapten Mun tertawa terbahak-bahak, wajahnya memerah, tangannya memegangi perutnya. Mereka semua berbisik dan tertawa tentang hal ini sepanjang pagi, benar-benar terhibur. Namun ketika Komandan In atau Komandan Yai melaju melewati mereka, mereka menutup mulut dan berkonsentrasi pada perjalanan.

Aku sangat kecewa dan tidak tahan untuk membetulkannya, "Kainnya tidak ku lepas. Kainnya terbuka dengan sendirinya. Aku belum pernah memakainya. Kau tahu itu."

Adakah yang peduli dengan penjelasan ku...? Tidak.

Mereka yang terlalu takut untuk tertawa di depanku menoleh ke belakang atau melihat ke arah lain, meski bahunya bergetar hebat.

Kenapa aku selalu menjadi pembicaraan? Terakhir kali, aku menabrak paviliun tepi sungai Khun Yai dan membalikkan kano ku. Kali ini karena kainku jatuh di hadapannya. Terlebih lagi, Kapten Mun atau Ming selalu terlibat dalam setiap kehidupan.

Siang harinya perjalanan berhenti untuk istirahat. Aku perhatikan pepohonan di kawasan itu tidak setebal tempat kami berjalan kemarin di hutan. Aku duduk, menyandarkan punggungku ke batu dan meregangkan kakiku. Aku merasakan sakit di sekujur tubuhku, seperti jiwaku meninggalkan tubuhku. Yang lain tampaknya tidak selelah aku. Mereka hidup di masa di mana sebagian besar orang bertani untuk mencari nafkah, jadi tubuh mereka lebih kuat dan lebih kuat daripada orang kota sepertiku. Selain itu, mereka lebih mengenal kondisi dan cuaca.

Aku tersentak saat rantai di pergelangan kakiku bergerak dan terasa perih. Kulit di sekitar pergelangan kaki dan tulang pergelangan kaki ku memar karena bersentuhan dengan gelang logam setiap kali aku

melangkah.

Kemarin tidak seburuk hari ini karena aku memakai baju lama termasuk celana panjang. Keliman kain melindungi kulit ku dari kontak langsung dengan rantai. Sekarang, aku mengenakan sesuatu seperti korset setinggi paha. Sepatu kulit hitamku telah dilempar ke dalam gerobak, digantikan dengan sandal datar yang terbuat dari kulit dan bertali. Tidak ada yang melindungi kulitku dari gesekan.

Aku menggosok pergelangan kakiku perlahan dan tersentak ketika aku menyentuh bagian yang lecet itu.

Aku terlonjak ketika melihat Komandan Yai berlari

mendekati dengan kudanya. Dia melihat ke arah

sini, jadi mata kami bertemu. Aku tidak tersenyum padanya hanya untuk diabaikan lagi seperti kemarin. Sebaliknya, aku menyampaikan pesan bahwa aku membencinya menggunakan telepati. Komandan Yai berkedip melewatiku dengan acuh tak acuh.

i feel your linger in the air (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang