02. Time never waited for anyone

11 1 0
                                    

Nadia masih terisak, sesekali ia tampak mencoba menghapus airmata yang masih mengalir di wajahnya. Keningnya berkerut dan pipinya menggembung, wajahnya merah padam. Untuk mereka yang melihat sekilas akan bingung membedakan apakah Nadia tengah sedih atau marah.

Javi berjalan mendekatinya kemudian menyodorkan sekotak tisu yang baru dibelinya tanpa bicara apa-apa. Setelah Nadia menerima tisu pemberiannya, Javi ikut duduk di sebelahnya, dengan menjaga jarak agar memberi ruang privasi yang cukup untuk Nadia.

Mereka berdua kini berada di sebuah taman, areanya memang terbuka tapi Javi dan Nadia sudah cukup sering berkunjung ke taman ini sehingga mereka tahu area yang cukup sepi dari pandangan orang. Area ini adalah spot favorit keduanya ketika kecil, tempat terbaik melarikan diri sesaat setelah dimarahi orangtua misalnya.

"Gue bodoh banget ya," ucap Nadia di sela-sela isak tangisnya yang sudah coba dia hentikan sekuat tenaga tapi tidak ada hasilnya.

Javi menoleh, menatap Nadia yang berusaha membenahi rambutnya, wajahnya sedikit terkejut menyadari Nadia membuka percakapan. Biasanya, Nadia akan butuh 3-4 jam menangis tanpa henti sebelum mulai membuka percakapan.

"Orang kayak Reno nggak pantas dapat tangisan gue, buang-buang airmata saja." Nadia langsung menarik segenggam tisu dan mengusapkannya di wajah dengan kasar. Wajahnya semakin merah, sembabnya semakin nyata.

"Sakit hati lo valid, kak," balas Javi sembari mengambil bekas tisu yang habis dipakai Nadia, menggenggamnya menjadi satu bulatan besar kemudian melemparnya ke tempat sampah terdekat seperti memasukkan bola basket ke keranjang.

Perhatian Nadia ikut tertuju pada gumpalan tisu yang dengan mulus masuk ke dalam tempat sampah hasil bidikan Javi. Setelah semua gumpalan tisu masuk ke dalam tempat sampah, Nadia menatap Javi untuk mendapatkan perhatiannya.

"Lo udah tahu kalau Reno selingkuh?"

Javi menggeleng.

"Kok lo bisa datang tepat kayak tadi?" cecar Nadia belum menyerah.

"A gut. Lo bilang nggak bisa hubungin Reno sementara gue lihat dia pegang ponsel terus pas di kantin."

...dan Yudi sama Donny bilang mereka lihat Reno jalan sama mahasiswa tingkat satu beberapa kali. Tentu Javi tidak melanjutkan omongan ini karena itu akan membuat Nadia terlihat bodoh tidak menyadari kekasihnya sudah lama menduakan dirinya.

Nadia menghela napas. Seharusnya dia memang sudah curiga karena Reno yang dia kenal selalu aktif di ponselnya, jadi untuk dia nggak cepat membalas chat tentu sesuatu yang tidak biasa.

Nadia lalu berdiri dari duduknya, merapikan roknya yang dilekati beberapa daun kering, kemudian mengambil tasnya. Javi memperhatikan semua yang dilakukan Nadia dengan tatapan datar.

"Gue udah baik-baik saja, ini bukan pertama kali, tenang aja."

Belum ada sedetik dari Nadia bilang "tenang aja", ia tersandung. Tanpa bantuan Javi yang buru-buru memberinya uluran tangan, mungkin Nadia sudah bercumbu dengan tanah.

"Gue kacau banget," kali ini Nadia hanya bisa merutuki dirinya yang untuk kesekian kalinya dibodohi cinta. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, siap untuk menumpahkan kembali airmatanya.

Javi berdiri di samping Nadia, menunggu perempuan yang lebih tua setahun darinya itu mengeluarkan semua sisa-sisa kesedihannya. Ia tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri menutupi Nadia dari pandangan orang yang kebetulan berjalan di dekat mereka, memastikan perempuan itu bisa dengan nyaman mencurahkan perasaannya tanpa seorang pun yang lihat. Sesepi apapun area yang mereka pilih, sebuah taman tetap ruang terbuka yang membuat area manapun tidak sepenuhnya tersembunyi.

Beberapa jam kemudian, Javi sudah mengantarkan Nadia pulang yang disambut Januar yang membukakan pintu depan.

"Bokap sama Nyokap ada di ruang tengah, lo lewat samping aja biar nggak ketemu mereka," ujar Januar yang langsung disambut dengan gumaman makasih dari Nadia.

Sebelum masuk ke dalam rumah, Nadia menoleh ke arah Javi yang dibalas dengan senyuman menenangkan dan gestur tangan yang mendorong Nadia untuk segera masuk dan beristirahat.

"Thanks ya, I owe you, again," ucap Nadia pelan sebelum masuk ke dalam rumah.

Javi menatap kepergian Nadia dengan lekat, setelah memastikan perempuan itu berhasil naik ke lantai dua yang tangganya terlihat dari pintu depan, Javi menghela napas lega. Ia baru saja hendak berbalik untuk pamit pada Januar sebelum adik kecil Nadia itu menahannya.

"Kakak gue bodoh banget emang, di depan matanya ada yang sayang banget kayak gini malah salah pilih cowok mulu."

Javi tertawa kecil dan menepuk pundak Januar dengan pelan.

"Night, bro," ucap Javi sebelum pamit balik ke rumahnya yang hanya beberapa meter dari rumah Januar dan Nadia.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 10 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Love Won't WaitWhere stories live. Discover now