Telanjang di Jalanan

185 8 2
                                    

Namanya Yayan. Pria berumur 35 tahun yang baru saja bercerai setelah enam tahun menikah. Belum punya anak, tapi keponakannya sudah satu gudang. Setiap hari dia diganggu oleh suara rengekan anak dari adik atau kakaknya yang sering main ke rumahnya.

Ibunya yang menyarankan dia dan istrinya agar mengurus anak dari saudaranya. Katanya sebagai pancingan agar lekas punya keturunan. Tapi setelah enam tahun menikah pun, dengan berbagai ramuan dan segala jenis pancingan, tak sekalipun mereka diberi tanda-tanda keturunan akan datang.

Baik Yayan dan istrinya tidak mau ke dokter. Alasannya takut kalau ternyata hanya salah satu dari mereka yang mandul. Takut disalahkan dan diremehkan. Namun, bahkan tanpa tahu kebenaran apa pun, Yayan tetap disalahkan.

Lebih tepatnya hari ini, ketika Yayan hendak mengurus kartu keluarganya yang baru dan berkas lain. Dia melihat mantan istrinya, sedang duduk ngopi dengan lelaki lain di kafe depan kantor sipil.

Yayan berhenti sejenak untuk mengamati pemandangan panas tersebut. Wanita itu sedang tertawa sambil membicarakan ... entah apa itu, tapi terlihat asyik. Mereka jelas terlihat seperti pasangan kekasih dari gerak-geriknya. Belum ada satu bulan sejak mereka resmi bercerai, tapi matan istrinya itu sudah dekat dengan lelaki lain.

Dada Yayan terasa sesak. Dulu dia pernah dituduh selingkuh oleh mantan istri dan mertuanya. Dianggap tidak niat berhubungan badan karena sudah punya simpanan, sampai-sampai susah mau punya anak. Sekarang dia melihat sendiri bagaimana kelakuan mantan istrinya yang justru sudah suka bermain-main setelah beberapa hari perceraian. Harusnya dia tuntut saja kemarin. Tapi sayang, Yayan sudah telanjur sakit hati dan muak dengan perkataan wanita itu. Katanya, kejantanannya kurang mantap. Itu sangat ... menginjak harga dirinya. Jadi dia setujui saja ajakan perceraian tersebut tanpa pikir panjang. Sudah keterlaluan.

"Permisi, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" suara itu mengagetkan Yayan dari lamunannya.

Seorang pegawai dari kafe tersebut. Mungkin menegur karena Yayan hanya berdiri di depan kafe tanpa menunjukkan niatan untuk mampir. Belum lagi tatapannya yang tidak memberikan kesan baik. Siapa pun bisa mengira kalau pria yang terlihat murung ini sedang merencanakan tindak kriminalitas.

"Tidak ada apa-apa, maaf," jawab Yayan dan langsung menyeberang ke kantor sipil.

Yayan kembali melamun saat sedang mengantri. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya apa pentingnya keturunan? Memangnya kenapa jika seseorang mandul? Memangnya kenapa jika seorang pria tidak bisa memantapkan istrinya saat di ranjang? Para wanita itu menggalakkan protes, tidak terima dijadikan objek seksual lelaki. Tapi mengapa mereka menilai lelaki dari kemampuannya dalam bermain ranjang?

Setelah menuntaskan urusannya, Yayan berniat langsung pulang. Mantan istrinya masih di sana dengan lelaki yang sama. Sempat dilihat sebentar, mereka makin mesra. Kenapa pikiran tentang perkataan mantan istrinya kembali menggelenyar dalam pikirannya? Apa benar dirinya seburuk itu?

Akhirnya, malam itu, setelah marah-marah tidak jelas dengan orang-orang rumah, Yayan memutuskan untuk keluar. Dia diam-diam pergi ke rumah bordil untuk menyewa pelacur. Berniat membuktikan tentang kejantanannya. Apakah benar, dia seburuk itu?

Malam itu, Yayan menodai dirinya sendiri hanya demi sebuah pembuktian. Menurutnya, tidak mengecewakan. Bagaimana pelacur itu bersuara, bagaimana pelacur itu tunduk dibawah kuasanya, Yayan merasakan bangga atas dirinya.

"Mas kayaknya lagi panas. Jujur, tadi kasar banget," kata pelacur itu ketika mereka akhirnya selesai.

"Tapi kamu suka, 'kan?" goda Yayan. Pelacur itu hanya diam dengan pipinya yang tersipu.

"Aku cuma marah sama mantan istriku," kata Yayan tiba-tiba.

"Baru tahu kalau diselingkuhin?" tebak pelacur itu.

Yayan mengangguk. "Sebenarnya, aku pun enggak tahu dia selingkuh apa bukan. Bisa jadi mereka baru pacaran sewaktu awal cerai. Tapi, belum ada satu bulan, sih," curhatnya.

"Hem, udah pasti selingkuh duluan itu, sih! Terus udah dikasih lampu hijau, gas langsung."

Yayan terkekeh. "Aku juga capek sama kelakuannya dia. Katanya, aku enggak mantap kalau lagi main. Mana mertua sama ibuku pengen banget punya anak. Mau berapa kali coba, segala dipancing sampai kupingku pengang dengar keponakanku yang pada rewel, kalau memang belum rezekinya, ya ... enggak bakal bisa!" curhat Yayan lagi.

"Mas mandul?"

Pertanyaan itu ....

Rasanya bergema dalam otaknya. Bahkan setelah penghinaan ini pun, Yayan masih ragu untuk mencari kebenarannya. Takut jika memang benar demikian.

"Aku pulang dulu," kata Yayan. Dia enggan membahasnya lebih jauh. Meninggalkan si pelacur yang merasa tidak enak hati karena mengira salah omong.

Sampai di rumah, subuh mulai terlihat. Yayan mandi keramas, sebagaimana kebiasaan tersebut setelah berhubungan badan dengan istrinya. Ah, kalau seperti ini, dia jadi rindu. Lelaki itu agak menyesal.

Dua minggu kemudian, Yayan tidak kembali pada kehidupannya yang normal. Dia terpuruk. Mengurung diri dalam kamar, sibuk bergelut dengan pikirannya. Beberapa hari yang lalu dia mendapat kabar pemecatannya karena sudah banyak mengambil cuti dan bolos selama beberapa hari. Ditambah lagi sikapnya yang terkesan angkuh ketika ditelepon perusahaan. Yayan tidak punya dedikasi lagi.

"Ya Allah, Nak ...! Duda muda, nganggur di kamar, luntang-lantung, makan-tidur. Kamu kenapa, sih?" Suara melengking dari ibunya membangunkan Yayan siang itu.

"Liat itu, teman-teman kamu! Semangat kerja, punya anak, punya usaha. Kenapa kamu cuma tidur ...! Ibu tahu kamu baru saja cerai. Tapi tolong, lah! Jangan jadi mayat hidup kayak gini!"

"Emangnya kenapa kalau mereka punya anak? Ibu ini selalu minta cucu ke aku. Anak ibu aja banyak yang enggak keurus. Ngapain mau nambah keturunan? Gengsi sama tetangga?" Perkataan itu keluar begitu saja. Kuping Yayan sudah pengang mendengar komentar-komentar jelek tentang kehidupannya. Baik dari ibunya maupun saudara-saudaranya. Mereka tahu apa?

Yayan bisa melihat raut muka ibunya yang tiba-tiba menjadi suram setelah dia bentak. Ibunya tampak berkaca-kaca. Tapi Yayan tidak peduli. Saat keluar kamar pun, iparnya beserta adik paling kecilnya yang sedang menyuapi anak mereka itu cuma bisa tercengang. Yayan rasa, dirinya membuat kaget seluruh rumah.

Matanya menelisik. Ketika dia menatap ipar laki-lakinya, sekilas Yayan bisa melihat segaris seringai di sana. Apakah orang-orang di sekitarnya juga demikian? Menertawakan dirinya, meremehkan sambil bergosip tentangnya? Menganggap enteng sosok Yayan yang terkenal sebagai lelaki gemulai? Lelaki yang tidak bisa menghamili wanita, lelaki mandul, lelaki tidak sehat. Bahkan Yayan curiga dengan isi kepala ibunya.

Hari itu, Yayan berniat membuktikan dirinya. Semua bisik-bisik tetangga yang didengar akan dia sumpal. Kalau memang orang-orang itu ingin menertawakannya, biarlah Yayan dengar dengan telinganya sendiri. Dengan jelas, tanpa perlu ditutup-tutupi.

Tapi hari itu, setiap orang yang Yayan temui selalu melarikan diri dengan teriakan ketakutan. Yayan telanjang di jalanan.

==================================
Halo!
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak di cerpen kali ini.

Note: Kebetulan cerita ini terinspirasi dari pengalaman pribadiku dan beberapa temanku yang pernah dikejar / ketemu sama orang yang suka pamer kelamin. Kalau kamu, gimana? Pernah punya pengalaman kayak gini?

Telanjang di JalananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang