Bagian 5 - Nama itu Abadi

816 131 15
                                    

🍁



Kereta melaju menembus angin,
hantarkan harap pada tiba yang lebih dulu
atau lambat yang tak lagi mampu.

Besi-besi berdecit, kota-kota terlewati
bak detak jantung yang membilik
pada setiap kenang yang abadi.


Esoknya, seperti yang dijanjikan bahwa Moeza dan Azhura pergi mengunjungi panti asuhan yang akan dijadikan tempat untuk menyelenggarakan charity. Keduanya datang bersamaan setelah jadwal konsul selesai. Dan, walau hari sudah petang, kedatangan mereka tetap disambut oleh canda tawa anak-anak yang sedang berlarian.

Penjaga panti menghampiri Moeza dan Azhura. Dia berkata jika Tuan Muda atau pemilik panti masih di perjalanan. Mungkin sedikit terlambat, mengingat jalanan di Jakarta memang selalu ramai. Terlebih, sekarang sudah masuk jam pulang kantor.

"Silakan kalau Mas dan Mba ingin berkeliling. Saya tinggal dulu karena harus memasukkan anak-anak ke kamarnya." Ucap perempuan bernama Sri. Baik Moeza maupun Azhura sama-sama mengangguk.

Azhura berjalan ke taman belakang untuk melihat pohon-pohon yang masih asri. Di sana ada cukup banyak permainan mulai dari perosotan, ayunan, jungkat jungkit, dan rumah pohon mini. Halaman belakang juga sangat luas. Tidak heran anak-anak tadi senang berlarian di sana.

Berbeda dengan Azhura, sekarang Moeza tengah menatap foto-foto pada pigura yang terpajang di ruang tengah. Ia tersenyum kala melihat bingkai yang menampilkan anak-anak panti. Totalnya 20 orang kurang lebih dan mereka nampak bahagia dalam foto tersebut.

Di sebelahnya, terdapat foto para pengurus panti asuhan. Lima perempuan dan empat laki-laki. Ia juga melihat Ibu Sri dalam foto tersebut. Rasanya menyenangkan melihat raut-raut bahagia mereka. Dan, Moeza tahu bahwa panti asuhan ini bukanlah sekedar tempat penampungan anak-anak terlantar. Tapi juga rumah bagi mereka yang membutuhkan.

Hal yang membuat Moeza penasaran. Di mana ada satu foto perempuan dengan ukuran pigura sangat besar di tengah-tengah ruangan. Perempuan yang terlihat sangat anggun, dan entah mengapa Moeza merasa seperti pernah melihatnya. Di bawah sana tertulis 'Meera Gemani'.

Ketika Moeza sedang memfokuskan pandangannya pada bingkai tersebut, ia dapat melihat sosok yang berdiri di belakangnya. Seketika, sekujur tubuhnya kaku mengetahui siapa sosok itu.

"Sudah lama menunggu, ya?" Tanyanya. Sedang sosok yang ditanya masih terdiam di tempatnya. Keheningan mereka terpecah saat Sri datang dan menghampiri sosok yang dipanggil Tuan Muda itu.

"Sudah disediakan minum?"

"Sudah, Mas Erza."

Saat itu tidak hanya Sri yang datang, tapi juga ada Retno, Inge, dan Joko. Pun, Azhura sudah kembali dari taman belakang. Jadilah sekarang Azhura dan Moeza duduk di hadapan para pengurus panti.

Sesi awal adalah perkenalan. Sri memperkenalkan rekan-rekan kerjanya mulai dari Erza sang pemilik yayasan. Lalu, Sri dan Retno adalah sekretaris dan bendahara. Sedangkan, Inge dan Joko menjabat sebagai kepala sekolah dan wakil kepala sekolah.

Setelahnya, giliran Azhura yang memperkenalkan mereka berdua. Moeza banyak menyimak karena Azhura memang ketuanya. Tapi terlepas dari itu, Moeza sedang menahan diri untuk tidak menatap sosok di depannya karena ia tahu sejak tadi Erza sesekali menatapnya.

#MOERZA | Jika Kita Bertemu Kembali [MARKNO AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang