Papa itu cuka buat kecal. Papa buat Kakal mayah-mayah teyus. Papa itu jeyek.
Tapi ... kayo dak ada Papa, Kakal cama capa?
—Cakrawala Yudhoyono
•
Pagi untuk Kakal itu hampir selalu sama. Pertama, Papa akan bangunkan Kakal dengan banyak cium-cium; sebenarnya Kakal itu suka kalau Papa cium-cium, tapi dia malu buat mengaku karena nanti Papa ejek-ejek, ssttt ... ini rahasia dan Papa tidak boleh tahu!
Lalu setelah Kakal bangun, Papa akan menggendong dia untuk didudukkan di kursi, tidak lupa Papa juga akan kasih segelas air putih buat Kakal minum. Next, Kakal dibawa ke kamar mandi untuk sikat gigi dan cuci muka. Baru deh Kakal dimandikan sama Papa dan sedikit bermain air, terus dibantu pakai baju yang Kakal pilih sendiri. Pokoknya kegiatan di pagi hari Kakal memang hampir selalu sama, kalaupun ada yang beda, ya, karena Papa tidak ada di rumah biasanya.
"Papa akan pergi tiga hari. Papa nggak di rumah selama tiga hari. Ingat, tiga hari dari hari ini, okay?"
Seperti hari ini, Papa akan pergi selama tiga hari. Tiga hari itu banyak karena Kakal harus melewati hari ini, hari berikutnya dan berikutnya lagi untuk bisa bertemu dengan Papa di hari berikutnya setelah itu. Pokoknya buat pusing, tapi Kakal mengerti maksud Papa, kok. Tapi tetap saja, tiga hari tuh lama. Kakal tidak suka ditinggal sama Papa. Soalnya kan Papa itu papanya Kakal.
Kakal masih diam saja. Saat mengangkat tangan kanan dan menunjukkan ketiga jari yang berada di tengah, Kakal masih tetap setia dengan kebisuan miliknya. Dia tidak mood karena akan ditinggal Papa.
Papa tuh tahu tidak sih kalau Kakal aslinya lagi sedih karena akan ditinggal sama Papa? Kenapa Papa terlihat biasa saja, ya? Bikin Kakal semakin sedih, deh.
"Ini tiga. Satu, dua, tiga. Papa nggak ada di rumah selama itu. Coba, Kakal hitung."
Dengan sangat-amat terpaksa Kakal jadi ikut menghitung seperti yang Papa lakukan tadi. Dia mengangkat tangan kecilnya, lalu menekuk ibu jari dan dan jari kelingkingnya. "Catu, uwa, iga," ucap Kakal malas.
Nah kaannn, tiga itu banyak sekali. Setelah Kakal hitung sendiri, dia jadi tahu kalau tiga hari pasti akan sangat lama tanpa ada Papa di samping Kakal nantinya. Buat sedih, deh!
"Nah, betul." Papa terlihat puas mendengar ucapan Kakal. Tapi Kakal masih terlihat kecewa. Apalagi saat Papa bilang, "Papa akan pulang di hari keempat. Ini, lihat. Satu, dua, tiga, empat. Papa pulang di hari keempat. Coba Kakal hitung."
"Catu, uwa, iga, foul." Jika seperti ini, Kakal jadi tidak ingin bisa menghitung saja. Buat kesal karena sekali lagi dia jadi tahu berapa lama papanya akan pergi.
"Anak hebat!" puji Papa. Kakal jadi bisa sedikit tersenyum karena dipuji sama Papa. "Jadi, Kakal di rumah sama Mbak Ajeng dulu, ya? Nanti Opa dan Oma juga datang, jadi Kakal tidak akan kesepian. Kakal paham, kan, apa kata Papa?"
"Um."
Kakal paham sama apa yang Papa katakan. Dia mengerti, kok. Walau sekali lagi, Kakal merasa sedih.
"Kakal jadi anak baik, menurut sama Mbak Ajeng, Opa dan Oma, okay? Kalau Kakal jadi anak baik nanti Papa ajak Kakal ke tempat yang ada saljunya. Kakal mau kan lihat salju?"
Wajah sedih Kakal perlahan menghilang saat mendengar ucapan Papa tadi.
Uh-oh, tempat bersalju? Lihat salju? Siapa yang bisa menolak? Apalagi perginya sama Papa. Kakal jadi bersemangat lagi setelah mendengar ucapan Papa tadi.
"Maauuu!"
"Nah, good. Jadi Kakal harus jadi anak yang ...?"
"Good-good!" jawab Kakal sudah kembali bersemangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Papa's Diary •√ [Terbit]
Teen Fiction[sebagian chapter diprivate untuk kepentingan penerbitan] • Lika-liku young-adult bernama Jeffrey Sameko Yudhono yang harus membesarkan anaknya, Cakrawala Yudhono, seorang diri. Update setiap hari Rabu(kalau tidak ada halangan).