💐💐💞💐💐
Pernyataan itu didukung oleh senyum manis, kak Zio yang selama ini terkenal bermulut pedas ternyata bisa sangat berbeda di depanku. Pilihan jawabannya pun mematahkan ragu, dia benar-benar tentang perasaannya.
Namun, ada banyak hal yang saat ini sedang berputar dalam pikiran, bukan hanya tentang perasaan dan harapan pada Syahib. Juga sesuatu yang sering kudengar dan paling anti jika sampai terjadi, beberapa konsekuensi jika bersama dengan senior yang hampir setiap hari bertemu."Jangan gampang baper, ingat perempuan itu berperan bukan baperan."
"Kayak nggak tau aja, senior di sini apalagi Kanda yang keliatannya manis aja nggak kita sadari punya racun di belakang."
"Berbisa banget pokoknya, klo udah kena KRS aja ntar ngerasa disakiti."
"Hah? KRS apa?"
"Korban Retorika Senior!"
"Senjatanya mereka tuh bukan cuma gombalan maut, kadang Ideopolstrataknya main juga dalam hal kek gini."
"Seberbahaya itu, ya?"
"Makanya, jangan masuk dunia Kanda kalau belum punya cukup ilmu."
"Ntar dibego-begoin lagi."
"Iya, katanya demi Umat dan Bangsa. Aslinya demi pengakuan pribadinya."
Aku keluar dari bayangan pembicaraan senior perempuan saat lima jari melambai di depan mata, sepertinya beberapa menit aku sempat melamun atau mungkin kak Zio menganggapnya sedang keluar dari pijakan. Lelaki itu tersenyum, dia kembali menatapku seolah tidak ingin lepas barang sedetikpun.
"Kalau emang kamu nggak mau, aku nggak bakal maksa, kok. Lagian dengan kayak gini juga aku bisa jagain kamu."
Aku memilih bungkam, beberapa saat memikirkan hal bagus agar persaudaraan ini tidak renggang. Penolakan biasa yang sering kutemui menjadikan dua belah pihak berada pada posisi tidak bisa seakrab dulu, sangat aneh padahal harusnya satu sisi bisa menghargai keputusan itu. Namun, sisi lain membenarkan jika menjauh adalah pilihannya agar tidak semakin berharap.
"Hell ... alasan klise sih kalau abis ditolak malah jadi nggak negur dan nyapa kayak biasa. Harusnya nggak boleh berubah, ini yang jadi sering orang beranggapan kalau semua bisa hancur karena perasaan."
Entah aku pernah dengar dari siapa kalimat itu, tapi secara tidak langsung aku juga menyetujuinya. Kita bisa saja berteman kembali seperti biasa, sebelum kata suka itu keluar dan mendapatkan hasil yang tidak sesuai keinginan. Anehnya, lebih banyak orang yang memilih menjauh bahkan memberi jarak dengan alasan agar bisa menghapus perasaan. Rasa yang katanya menjadi alasan, tidak sedikit juga dari mereka yang hanya berjarak hari ternyata sudah mendapat gandengan. Artinya mereka memilih kamu karena perasaan itu ada, bukan karena kamu maka perasaan itu ada. Karenanya, posisi bisa digantikan oleh siapa saja yang mau dan siap menerima adanya perasaan itu.
Kak Zio berpamitan pulang setelah beberapa lama mencoba mengalihkan topik, aku masih berpikir manfaat apa yang akan kudapatkan dari lelaki itu jika menerimanya nanti.
"Kalau nda suka, bilang ki nda suka. Jangan karena segan, Lita jadi terjebak sendiri nanti."
Suara itu kembali menyapa telingaku malam ini, tidak menyebutkan tentang siapa dan membawa nama teman untuk menyampaikan cerita itu padanya. Namun, Syahib seperti mudah sekali memahami, itu semua bukan tentang orang lain lagi.
"Lita suka sama orangnya?" tanya Syahib.
"Aku nggak tau," jawabku bimbang.
"Kalau saya, suka ki?"
Pertanyaan spontan itu juga tidak bisa kujawab dengan lantang, padahal harusnya di sini aku membuktikan efek setelah menyatakan perasaan. Namun, kembali gengsi yang menjulang tinggi terus menghalangi, entitas sebagai perempuan yang sewajarnya tidak menyatakan lebih dulu tetap kupertahankan.
"Syahib kayaknya yang suka, bilang saja nggak apa-apa," ujarku membalikkan pertanyaan.
"Iye, memang kusuka ki. Bagimana tuh?"
Jawaban yang sangat mudah sepertinya, dia juga membubuhkan tawa di sana. Aku tidak mengerti ini benar-benar kalimat yang jujur atau hanya penutup tanya, ada bunga yang bermekaran saat Syahib seperti tak ada beban mengatakan itu.
"Halo? Lita, masih di sana?"
"Eh, iya masih."
"Kenapa gugup ki? Baper, kah? Cepatnya ini kaum perempuan baper memang dii."
"Apa? Nggak, siapa yang baper?"
"Itu buktinya, nda bisa mi sanggah jawabanku."
"Iih kebetulan aja emang nggak ketemu sanggahan apa lagi."
"Dehh ... bilang mi saja baper, susah sekali ki."
"Ah tau, deh. Syahib rese'!"
Ada tawa, ada debat dan pastinya akan diisi ilmu dalam percakapan itu meski bobotnya tidak seberapa. Kembali lagi dia mengingatkan tentang salah satu materi dalam forum Intelektual tingkat 2, bahwa sebenarnya manusia itu memiliki sisi ketergantungan. Baik dengan sesama manusia, ataupun pada pencipta-Nya.
Berbicara dengan lelaki ini, tidak membuatku bosan karena ada beberapa kesempatan yang memberiku ruang untuk menang beragumen. Terbesit sebuah pikiran yang baru saja hadir, aku tidak akan menjadi perempuan yang mudah dibodoh-bodohi seperti kata senior. Menjadi korban KRS rasanya cukup malu, karena hampir 80% orang yang baru menginjak dunia itu semuanya merasakan hal yang sama.
Target empuk senior yang ingin diakui, koleksi hati yang akan berjejer rapi bak thropy. Menyakiti sepertinya sudah menjadi budaya, singgah sekadar membuktikan bahwa target mereka bisa ditaklukkan dengan telak.
Aku berbalas pesan dengan kak Zio, rupanya senior itu belum istirahat di jam yang cukup larut ini. Setelah Syahib pamit untuk pergi menemui seniornya, aku fokus pada satu kontak yang sejak tadi mungkin harap-harap cemas.
Harap pernyataannya akan terbalas, cemas jika retorika yang digunakan kurang pas. Sebuah panggilan masuk, aku sempat menolak karena sudah malam. Namun, egonya sudah tampak di awal, dia beralasan ingin mendengar keputusanku lewat telfon dan bukan hanya ketikan.
"Aku bisa kayaknya jalan sama kak Zio," ujarku lirih.
"Hah? Serius, Del?"
"Iya. Kakak pernah bilang kalau organisasi ini punya sisi gelap, aku nggak mau berjalan sendirian."
Sisi gelap dalam pikiranku dan kak Zio mungkin berbeda, tapi kali ini aku akan membiarkan saja. Ada beberapa hal juga yang sepertinya harus kupelajari, bukan hanya tentang organisasi ini tapi juga lelaki yang cukup disegani dan tidak berani disenggol siapapun.
"Zio ini tajir, loh. Dia juga pinter desain, kamu nggak bakal nyesel deh kalau sama dia."
"Mendadak banget ngomongin kak Zio, Kak?"
Kak Devi tersenyum menampakkan gigi kelincinya, "nggak sih, cuma ngasih fyi aja kali kamu tertarik dan jangan salah pilih orang."
Banyak pandangan positif yang kak Devi berikan, aku tidak bisa seratus persen fokus dengan itu. Sebab ada sebuah akun yang sedari kemarin terus mengejarku, entah apa maksudnya tapi aku mengerti posisinya.
+628223435xxxx
| Kamu pacaran sama Zio?
| Kalau bisa kita ketemu, ada banyak yang harus aku sampaikan ke kamu sebelum terlambat.Pesan itu menjadi salah satu faktor aku membuka ruang untuk kak Zio, apapun yang dia sampaikan entah benar atau salah bukankah aku harus membuktikannya?
"Jadi, kita jadian, Del?" tanya kak Zio saat panggilan suara masih tersambung.
"Iya, Kak. Cuma jangan dulu ngasih tau ke kakak yang lain, ya?"
"Kenapa nggak boleh?"
"Karena kak Zio tau sendiri gimana hebohnya mereka, apalagi soal kayak gini."
"Oke. Aku bakal berusaha, makasih sebelumnya, Del."
°•°°•°°•°

KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa
Fiksi RemajaBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...