1; Hari Pertama

653 53 2
                                    

"Non Kila, kita sudah sampai."

Nakila Tatjana Bratakara, atau yang kerap disapa Kila—gadis yang di panggil itu mengalihkan pandangannya dari ponsel keluar jendela mobil yang tanpa disadari nya entah sejak kapan sudah berhenti. Pemandangan di luar nampak cerah, langit bewarna biru tanpa awan, angin sepoi sesekali menerbangkan dedaunan yang sudah nampak kering dari masing-masing pohon yang tumbuh berbaris di tepi trotoar, dedaunan kering itu berterbangan—salah satunya jatuh pada bagian atas bus yang sedang terparkir tepat di halte pemberhentian, di badan bus jelas tertulis label yang menyatakan kepemilikan alat transportasi tersebut— Harmony Music Academy.

"Non Kila yakin mau naik bus aja ke sana nya? Non udah bilang Bapak sama Ibuk belum? Jujur, saya teh beneran takut nanti jadi diomelin."

Laki-laki yang duduk di kursi kemudi di depan gadis itu bersuara, bisa dilihat dari pantulan kaca di atas kepalanya, wajah laki-laki itu nampak sedikit cemas. Mang Tiko, namanya— supir yang sudah lama bekerja di keluarga Bratakara. Jika tak salah menghitung, sudah hampir tujuh tahun lamanya Mang Tiko di percaya untuk menjadi supir pribadi anak kedua di keluarga Bratakara tersebut, terhitung sejak Nakila baru duduk di bangku sekolah menengah pertama waktu itu.

"Gak apa-apa, Mang. Selagi Mama sama Papa gak tau kalau aku naik bus, Mang Tiko gak usah khawatir." ujar Nakila, perempuan itu memakai slingbag yang sebelumnya ia letakkan di kursi kosong dikirinya. "Mang Tiko diem-diem aja, nanti kalau sampai rumah, Mang Tiko tinggal bilang kalau aku udah di antara ke HMA, nanti sampe disana aku juga bakal langsung hubungi Mama."

Walaupun wajahnya masih nampak ragu, laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahunan itu akhirnya mengangguk, menyetujui arahan dari anak majikannya itu.

Nakila menjulurkan tangannya sebelum menekan tombol panel agar pintu disamping nya terbuka, kaki kanannya turun lebih dulu sebelum kemudian ia berjalan ke belakang, mengambil koper yang akan ia bawa ikut bersamanya.

"Non, sini kopernya biar saya yang bawa sampe ke bus."

"Gak apa-apa, Mang. Mang Tiko sampe disini aja nganter nya, biar aku sendiri aja jalan kesana, tuh tinggal nyebrang doang." ujar Nakila, mengambil alih kembali koper miliknya yang tadi sudah diambil oleh supirnya itu.

"Aduh Non, sini saya antar aja deh ya. Saya beneran takut ini sama Bapak sama Ibuk ngebiarin Non jalan sendiri begini."

Nakila menggeleng, "Kila gak apa-apa Mang, itu bus nya kan juga resmi dari akademi nya sendiri, aku juga gak sendirian, tuh, banyak anggota baru yang pergi nya juga naik bus."

Mang Tiko mengalihkan pandangannya, matanya mengamati beberapa orang yang berada di halte, ada yang masih duduk ada juga yang sudah berdiri untuk bersiap naik ke dalam bus. Diantara mereka yang terlihat membawa satu koper di tangannya masing-masing ada salah satu perempuan dengan pakaian formal rapi nya berdiri di sisi pintu bus yang terbuka, ditangannya terdapat sebuah tab yang nampak ia gunakan untuk mengabsen beberapa nama sebelum pemilik nama tersebut bisa masuk kedalam bus.

"Udah ya Mang, itu bus nya mau berangkat."

Laki-laki itu sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi saat anak majikannya itu berlalu pergi meninggalkannya, ia menghela napas pelan sebelum kemudian berbalik untuk kembali masuk kedalam mobil.

♪ ♪ ♪

Bunyi roda koper yang beradu dengan aspal terdengar saat Nakila berjalan dengan pelan menuju halte. Tangan kirinya memegang sebuah guidebook yang sejak semalam mulai ia baca untuk semakin memperdalam pengetahuannya tentang sekolah yang akan menjadi tempatnya mengenyam pendidikan selama tiga tahun ini.

HarmoniesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang