nol

17 1 66
                                    

Meja riasnya sedikit berantakan kala Juwita bingung memilih polesan make up mana yang akan dipakai. Beberapa kali ia melihat tutorial di sebuah aplikasi yang sering digunakan manusia untuk menonton video-video, tetapi berakhir ia menghapusnya sampai membuat perih di beberapa bagian. Ekornya bergerak gugup diikuti dengan telinga serigalanya, ia tidak tahu bahwa perasaan ini akan dialami.


Apa mungkin sudah terlalu lama bergaul dengan manusia ya? Apalagi bekerja di sebuah toko buku, di sana Juwita juga banyak belajar tentang pengetahuan manusia. Termasuk tentang penggambaran emosi seorang tokoh. Ternyata, seorang werewolf juga memilikinya, ya?



Pipinya menggembung, meletakkan dagu di atas lutut yang ditekuk. Duduk di bawah menghadap pada cermin. Juwita pikir, hidupnya tidak akan berubah. Ia hanya akan selalu bersama Sergius selamanya, berbaur dengan para manusia.



Usianya 15 tahun saat Juwita keluar dari hutan, ditemani oleh sang kakak berjalan ratusan kilometer bersama. Hanya berbekal pakaian, gadis itu memulai kehidupan baru. Sergius kala itu hanya ikut membantu petani yang berada di seberang hutan, pekerjaan keras di dunia manusia sudah dilakoninya. Untuk itu, si bungsu ingin ikut membantu.


Asing itu mungkin kata yang tepat saat Juwita hidup berdampingan dengan manusia. Si pengamat handal yang selalu disimpan dalam ingatan. Beruntung Sergius membekalinya pengetahuan umum seperti membaca, menulis, dan mengetahui nominal uang.



Juwita belajar sendiri untuk berinteraksi dengan manusia lain. Sering kali ia juga mendapat makian ketika tidak paham, tetapi ada beberapa pula yang begitu baik hati mengajarinya, meskipun selalu dianggap dirinya berasal dari desa pelosok. Tidak apa-apa sih, selama bisa memahami dunia manusia.


Sebuah ketukan pada pintu membuatnya terperanjat, telinga dan ekor segera disembunyikan. Wanita itu berdiri kemudian membuka kunci pintu kamar. Senyumnya mengembang kala melihat sang kakak sudah sampai, Sergius mencondongkan tubuh untuk memeluk si bungsu lalu masuk ke kamar minimalis yang sudah ditinggali oleh Juwita selama bertahun-tahun ini.


"Sudah sarapan?" tanya sang Alpha yang kemudian duduk di atas karpet berbulu.


Juwita menggeleng. "Belum. Mas bawa apa itu?" maniknya mengintip pada plastik putih yang dibawa oleh sang kakak.



Bungkusan itu dibuka, Sergius mengeluarkan satu kotak putih. "Bukan brownies kesukaanmu dari tempat teman kamu itu. Tapi sama-sama brownies, 'kan?"


"Namanya Hika," koreksi sang adik. Tangannya tetap membuka kotak brownies tersebut. "Jangan bilang-bilang dia kalau aku makan punya orang lain."



Sergius hanya tertawa kecil, maniknya menangkap meja rias sang adik yang berantakan. Tanpa dijelaskan, lelaki itu paham apa yang dialami oleh Juwita. Wanita itu sedang gugup dan takut, tiba-tiba ada seorang Alpha higgest rank dari pack terbesar di daerah mereka terpikat dengannya.


Semua terasa mimpi bagi Juwita, ia tidak ingin mempercayainya. Namun, kala ponsel milik wanita itu berkedip dan pesan singkat dari seseorang yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya itu terasa nyata.


Hening menikmati browniesnya, Juwita melihat bagaimana Sergius menata kembali beberapa make up-nya kemudian disimpan pada laci seperti biasa dan menyisakan satu lipmatte dan bedak.



"Pakai yang biasa kamu pakai, Dek. Sesuatu yang nyaman bisa membuat kita merasa aman."



Kehadiran Sergius sudah lebih dari cukup untuk menghilangkan gelisah di hati wanita itu. Maka dari itu, Juwita hanya menggunakan apa yang memang sering ia pakai untuk berdandan.


KayyisaWhere stories live. Discover now