01. He's Secret

282 51 22
                                    

Afraid - The Neighbourhood


Hujan badai di sertai kilat menyambar di langit malam yang gelap. Bintang bintang dan bulan tak terlihat karena tertutupi oleh awan gelap. Udara malam yang dingin semakin dingin karena angin kencang yang berhembus dari Utara.

Kilat dan petir menyambar membuat suara gemuruh yang sangat besar. Karena kuatnya suara gemuruh, membuat tidurnya terganggu, Kalingga membuka matanya padahal baru satu jam yang lalu dia bisa tertidur lelap setelah tidak bisa tertidur bermalam malam.

Di liriknya handphonenya yang menyala, menampilkan puluhan notifikasi pesan yang belum di baca. Menghela nafas panjang lelaki dengan kulit tan itu mengusap wajahnya, di sisirnya rambutnya kebelakang. Kepalanya berdenyut pusing, akhir akhir ini banyak masalah menerpa hidupnya membuatnya kesusahan karena tidak tahu harus menyelesaikan dari mana.

Suara dari air hujan yang berjatuhan tak dapat membuatnya tenang, disaat saat seperti ini rasanya semua kenangan buruknya kembali berputar di kepalanya. Padahal dia masih muda, kehidupannya masih panjang tapi masalah masalahnya tidak kunjung selesai. terlebih lagi, mengapa harus dia yang harus menyelesaikan masalah masalah yang bahkan tidak ada kaitannya dengan dirinya?

Ayahnya yang pengecut adalah biang dari segala permasalahan ini. Andai saja lelaki tua itu tidak lemah dan dapat diandalkan, kemungkinan besar kakeknya tidak akan menjadikannya calon penerus kepala keluarga dan membuatnya berada dalam semua kekacauan ini.

"Argh! Shit!"

Kalingga membanting gelas yang entah sejak kapan dia genggam ke dinding dengan sekuat tenaganya, serpihan kaca yang pecah berserakan di lantai kamarnya. Kepalanya kembali berdenyut pusing karena merasakan tingkat stres yang tinggi.

Diliriknya meja belajarnya yang seharusnya penuh dengan buku pelajaran sekolah kini penuh akan tumpukan dokumen perusahaan yang perlu dia pelajari. Seharusnya kehidupan sekolahnya berjalan layaknya remaja seumurannya. tapi lihatlah, masa remajanya benar benar suram, tidak ada kebahagiaan dan dipenuhi oleh masalah.

Terimakasih kepada tuhan karena telah memberikannya otak yang cerdas. Sehingga kakeknya dengan mudahnya memberikan tanggung jawab ini kepadanya.

Kalingga menarik nafas sebanyak mungkin, kakinya melangkah menuju pintu kaca yang mengarah langsung ke balkon. Ditatapnya air hujan yang berjatuhan dari langit, tidak ada bintang ataupun bulan di langit malam yang suram ini.

"Tega banget kalian buang anak sendiri..."

Suara serak yang mengalun lirih itu dipenuhi oleh rasa sesak dan sakit. Tidak munafik, dia kesal dan merasa kecewa akan orang tuanya yang lebih memilih kabur dan meninggalkannya begitu saja dalam keluarga terkutuk ini.

 Tidak munafik, dia kesal dan merasa kecewa akan orang tuanya yang lebih memilih kabur dan meninggalkannya begitu saja dalam keluarga terkutuk ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalingga merasa kepalanya masih berdenyut pening. Dia berpegang pada apapun yang dapat dijadikan pegangan, di pijatnya pangkal hidungnya. Rasa kantuknya sudah lenyap, insomnia nya makin parah dan sepertinya dia harus bergadang lagi malam ini.

---✧---


"Say again"

Kalingga diam, menunduk, tinjunya menggepal, rahangnya mengeras. Memalingkan wajahnya lalu menghela nafas, mencoba untuk menenangkan dirinya.

Ditatapnya manik mata yang sama dengannya itu. Rambut putihnya tertata rapi, kumisnya yang sudah memutih tidak memudarkan aura dominasi pria paruh baya itu, di hisapannya batang nikotin itu membuat ruangan tertutup itu dipenuhi asap rokok.

Suara Kalingga tercekat di tenggorokan, dia menahan nafasnya. Lalu memejamkan matanya, asap rokok itu benar benar menganggunya.

"Aku tidak setuju–"

Belum selesai dia bicara, sebuah gelas kaca dilemparkan, tepat mengenai dahinya membuat cairan merah pekat itu mengalir deras. Serpihan kaca berserakan di lantai, begitu juga dengan tetesan darahnya yang jatuh mengotori lantai putih itu.

Dia meringis kecil, memegangi pelipisnya yang robek dan mengeluarkan darah segar. Bau anyir darah memenuhi indra penciumannya, kepalanya yang sudah pusing semakin pusing. Matanya berkunang-kunang, tubuhnya terasa lemas. 

"Tidak setuju? Memangnya siapa yang meminta persetujuan mu?"

Evander Wilder—Sang kepala keluarga Wilder. Pria yang pernah menjabat sebagai Laksamana Angkatan Laut beberapa puluh tahun lalu, pria kejam dan tak berperasaan yang bahkan tega membantai keluarganya sendiri demi kekuasaan.

"Maaf"

Kalingga menunduk, mengesampingkan rasa pusingnya dia mencoba untuk mengatur ekspresi setenang mungkin. Seharusnya dari awal dia tahu, kakeknya adalah tirani kejam yang tidak akan pernah mendengarkan pendapat orang lain. 18 tahun hidup bersama, sekalipun tidak pernah dia merasakan kasih sayang dari pria tua itu.

"Inilah yang kau dapat karena membantah. Seharusnya kau bersyukur aku tidak menembak kepala mu saat ini juga"

Dia menatap tajam Kalingga, lalu mendegus kesal. Evander benar benar tidak suka di bantah dan Kalingga justru melakukannya.

"Pergilah, sebelum peluru ini menembus kepala mu"

*✧•°
.
.
.
.
.
.
.

Salam cinta♡
Whitney Yvonne

Cursed Tears Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang