Sudah 6 tahun sejak kelulusan SMA. Aku terbangun dari kasur, mukaku terasa berminyak, aku lupa mencuci muka tadi malam. Bahkan aku masih pakai kemeja kantor. Begitu pulang, aku benar-benar langsung tidur setelah melepas blazer.
Falisha yang dulu pasti marah sekali melihatku begini, karena ia paling tidak bisa tidur dengan badan kotor. Dia rajin sekali mandi, gosok gigi, cuci muka, skincare-an, bahkan menyisir rambutnya sebelum tidur.
Aku kembali berbaring, lupa kalau ini hari Minggu. Tahu gitu aku akan tidur sampai sore, sampai malam mungkin, melewatkan jam makan. Sudah lama aku tidak merasa lapar.
Aku meraih buku tebal di meja belajar, buku harianku semasa SMA. Buku itu tebal sekali, karena hobiku kala itu cuma menulis. Aku senang menuliskan hariku yang berjalan biasa-biasa saja. Entah sejak kapan aku mulai berhenti melakukannya.
Setelah mengusap sedikit buku berdebu itu, aku membuka halaman yang ada pembatasnya. Rasanya seperti membuka luka lama, setengah dari buku itu isinya cuma Raka.
Falisha yang dulu sangat menyukai seorang laki-laki yang memayunginya kala hujan di gerbang sekolah. Bahkan sampai kepala dua pun dia masih senang menuliskannya.
Tapi sekarang aku tahu, menulis tentang Raka nggak akan membuatku lebih baik, itu cuma akan membuatku semakin tenggelam oleh masa lalu. Saran Helen waktu itu benar-benar nggak masuk akal, aku jelas nggak akan merebut kebahagiaan orang, aku nggak mau jadi orang jahat.
Aku membalik halaman demi halaman, membaca kata demi kata yang Falisha SMA tuliskan. Geli. Rasanya seperti bukan aku yang menulis.
Dulu, aku adalah anak SMA yang paling bahagia sedunia. Mungkin itu jatah bahagiaku selama-lamanya yang sudah terpakai. Aku punya banyak teman, semua orang menyukaiku, bahkan diriku sendiri.
Menginjak kelas 12, bahagiaku jadi berkali lipat rasanya. Karena di situ aku mengenal Raka. Aku jadi semakin rajin menulis, semakin ceria, semakin semangat setiap berangkat sekolah. Aku sangat menyukai hari-hariku bersamanya.
Itu adalah masa dimana bahagia mudah sekali rasanya.
Sekarang, seisi dunia pun tidak bisa mengukir senyum di wajahku. Hidup ini tidak lagi ada rasanya. Keseharianku cuma bangun, berangkat ke kantor, pulang malam, dan tidur. Mungkin aku akan mati kalau Helen tidak memaksaku makan.
Aku merindukan Raka,
atau merindukan diriku saat masih bersamanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Help, I'm Still at the Restaurant
Dla nastolatkówka, aku nulis ini bukan karena menyesal dan berharap semuanya balik lagi kayak dulu, walau sebenernya keinginanku begitu. tapi aku lebih pengen minta maaf. maaf aku pernah bohong dengan bilang nggak suka kamu. maaf aku pernah pura-pura nggak tahu so...