Skeneri suralaya terskema di mata Adam saat ia terjaga untuk pertama kali di tepi danau yang pampangkan air mukanya.
“Where am I?”
“Garden of Eden.”
Adam memiliki iras yang bahari, tetapi kadang pelik hampiri naturnya nan tenang. Kelikatnya terlalu lembut dan aziz—ah, representasi keelokan yang mantapkan diri menjadi kausa kenapa keturunan-keturunannya hari ini perangi satu sama lain. Dia kadang menyusuri taman dengan bingung terpatri di wajahnya. Aku siapa? Adam bertanya pada riak-riak air di danau, pada padang rumput berselira halus, pada sarang burung 'tak berpenghuni, terkadang juga pada dedalu yang dedaunannya sering kali peluk Adam saat tidur siang. Adam masih terus bertanya. Dia hampiri awan di ujung jalan, siapa aku? Adam bertanya, lalu dijawab oleh semilir angin yang cumbu pipinya; yang penuh nafsu. Dia hampiri petak-petak kusuma yang pendarkan cahaya, siapa aku? Lagi-lagi, Adam bertanya, lalu dijawab oleh lebah-lebah yang baru saja singgah di antara para bunga; yang memiliki keinginan.
Sampai suatu hari, Nan Mahakuasa hampiri dirinya yang tidur lelap dan tenggelam antara rumput-rumput hijau.
“Adam.”
Hanya itu jawaban yang diperolehnya saat hadapi Nan Mahakuasa.
Jadi setelah itu, yang Adam ketahui hanya dua: namanya adalah Adam, dan rumahnya adalah surga. Adam sesekali juga bertanya pada ciptaan-ciptaan terdahulu, seperti pada air danau yang tenang. Apa itu surga? Danau menjawab di antara riak airnya: jalan yang benar. Lalu pada dedalu yang tampak sendu. Apa itu benar? Dedalu menjawab di antara daunnya yang panjang: Nan Mahakuasa. Adam pergi lagi untuk temui roh burung yang singgah di sarangnya yang kosong. Apa kuasanya? Roh burung itu menjawab di antara telur-telurnya yang gagal ia tetaskan: menjadi benar.
Lagi-lagi Adam temukan dirinya kembali bersoal pada ciptaan-ciptaan terdahulu. Apa itu benar? Namun, itu tetap berputar di antara Dia, Nan Mahakuasa.
Lalu di suatu hari yang cerah—langit tampak ranum, angin yang berembus tampak gendut-gendut karena membawa pesan-pesan dari negeri seberang 'tuk disampaikan pada Nan Mahakuasa— yang sedang tontoni Adam yang sibuk berputar-putar di taman—kemudian dengan cara yang tidak bisa kita sebut impulsif—Ia putuskan 'tuk ciptakan satu lagi Adam untuk temani Adam yang sibuk mengganggu ciptaan-ciptaan-Nya.
“Who am I?”
“Eve.”
Eve punya tabiat yang menyenangkan. Perangainya sungguh hangat, berhasil curi hati para ciptaan-ciptaan terdahulu saat ia pertama kali berlarian di taman. Ini adalah perempuan, Nan Mahakuasa nyatakan hal itu saat Eve baru saja diturunkan ke surga. Di hari pertama Eve diturunkan dan terbangun, Adam didapatinya sedang tidur nyenyak. Lalu di hari membosankan selanjutnya, Adam masih digulung oleh dedalu yang lembab. Eve sempat berputar-putar mengelilingi Adam, tetapi ia sudah lebih dulu kasmaran dengan surga yang mengelilinginya.
Eve yang lahir dari tulang rusuk Adam yang dicuri dari sang pemilik yang tidur nyenyak langsung berputar-putar di taman, kemudian ikut mengganggu riak air yang tenang, tanyai seribu pertanyaan pada petak-petak bunga, juga mengejar roh burung yang sibuk ajari anak-anaknya yang baru menetas cara terbang. Sampai di saat Eve kembali temukan Adam yang masih tidur lelap di tepi danau dan terbalut daun dedalu, makhluk yang disebut perempuan itu langsung menendang Adam keluar dari mimpi indahnya.
“Who are you?”
“Adam.”
Eve lalu kembali memutari taman, untuk bertanya tentang apa itu Adam. Perempuan itu tanyai awan yang sibuk mengganggu angin. Apa itu Adam? Lalu awan menjawab di antara bulir rinainya: yang penuh nafsu. Eve kemudian melompat ke petak-petak kusuma yang pendarkan cahaya. Apa itu Adam? Lalu dijawab oleh lebah yang sibuk membawa nektar di kantung-kantung penjelajahnya; yang memiliki keinginan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adam's Eden And Eve's Thirst
Short StoryAdam dan Eve diciptakan Nan Mahakuasa sebagai milik dari kebenaran. © 2024 Veronica Kalila, All Rights Reserved. Paintings used: The Wild Swans (1918) by Harry Rountree (1878-1950) & Adam and Eve in Paradise by Gustave-Claude-Etienne Courtois (185...