Rasa penasaran

10 2 0
                                    

"Wagelazzz, gue datang pagi banget pas Pak Adi nggak lihat. Sayang banget, gagal caper."

Brian menyatukan alis saat lagi-lagi ia melihat sebuah motor sudah terparkir rapi di halaman sekolah sepagi ini, sendirian pula. Ia pikir dirinya yang pertama datang, nyatanya ia yang kedua. Sakit tak berdarah bukan sih, namanya? Sudah usaha masih gagal saja.

Ini adalah hari kedua Brian berangkat pagi. Mobilnya masuk bengkel karena Luna nekat masuk dan merengek seperti anak kecil. Membuat Brian emosi dan membanting setir karena tidak fokus. Luna terus mengekorinya seperti anak itik. Membuat Brian jengah dan stress. Sebab itu mau tak mau ia harus memakai motor dan selama itu pula ia dikejutkan dengan kedatangan siswa yang sangat pagi dan rajin. Sebenarnya ia sangat penasaran tapi malas bertanya. Jadi, biarlah pertanyaan itu tersesat di otaknya.

Bersenandung kecil, Brian melewati lapangan sekolah menuju kelasnya. Ia mau tidur sebentar sebelum upacara dimulai. Brian memang bukan murid pintar, tapi ia paling anti dengan bolos. Bukan karena rajin, tapi malas mendengar ceramah papanya yang sepanjang rel kereta. Ini semua juga karena Luna yang berdiri di gerbang rumahnya dan berakhir ia kena omel papanya karena membiarkan teman di luar rumah.

Sesampainya di kelas, Brian menuju kursinya yang berada di pojok belakang dekat tembok. Melepas hoodienya untuk ia jadikan bantal dan menyatukan dua kursi untuk tidur. Sempurna. Dalam hitungan detik Brian sudah berkelana ke alam mimpi.

Di sudut kantin, Elsa sedang menghitung uang hasil penjualan rice bowl buatannya bersama sang nenek. Gadis itu tersenyum ramah pada Bu Rosa yang dengan senang hati menerima titipan jualannya.

"Kenapa hari ini sedikit, Sa? Padahal hari senin itu sangat banyak anak yang ke kantin. Mereka selalu kelaparan setelah upacara," ungkap Bu Rosa sedih.

"Maaf, Bu. Tadi saya bangun kesiangan. Jadi cuma bisa bikin ini saja," jawab Elsa dengan tangan yang menata rice bowl ke etalase yang disediakan. "Yang lain tidak saya titipi. Cuman ibu saja."

"Harusnya ibu tersanjung mendengar kata-katamu, tapi ... ya, sudahlah. Besok tambahin lho, Sa."

"Iya, Bu. Semoga besok Elsa nggak kesiangan lagi," janji Elsa. Memasukkan uangnya ke dompet lalu membuka tas untuk meletakkan di sana. "Elsa pamit, Bu. Terima kasih banyak."

"Ibu juga makasih, Sa. Kamu mau membagi rezeki dengan ibu." Mengelus surai hitam Elsa yang digerai, Bu Rosa melanjutkan perkataannya, "belajar yang bener. Biar sukses."

"Siap, Bu. Pasti Elsa belajar yang rajin."

"Titip salam buat nenek kamu."

"Nenek pasti senang mendengarnya. Elsa ke kelas dulu ya, Bu." Elsa sudah tidak tahan dengan rasa kantuk yang menyapanya.

Elsa selalu berangkat pagi ke sekolah karena ia menitipkan jualannya ke banyak orang. Bukan hanya kantin sekolah, Elsa menitipkan jualannya di banyak tempat seperti pasar dan warung yang menjual berbagai macam kue juga nasi di pagi hari. Itu sudah ia lakukan sejak sekolah menengah pertama sampai sekarang. Jualan Elsa juga selalu ramai, jarang ada warung atau toko yang kembali, tidak laku atau tidak habis. Sangat bersyukur karena bisa memenuhi kebutuhan hidupnya bersama sang nenek.

Memasuki kelas, Elsa merebahkan kepala saat sudah menjatuhkan tubuhnya di kursi. Ini semua efek dari ia menjaga neneknya yang baru pulang dari rumah sakit. Jadi, ia bangun kesiangan dan membuatnya mengantuk. Masih ada satu jam untuknya tidur karena ini masih jam enam kurang lima belas menit.

"Ca, bangun," panggil Mela -- sahabatnya -- sambil menggoyangkan pelan pundak Elsa.

"Udah mau upacara, ya?" Kedua temannya mengangguk. Elsa berhasil membuka mata yang tadinya terpejam rapat.

"Lo ngantuk banget?" Kini ganti Ririn yang bertanya.

"Hm, kemarin nenek pulang. Ya, udah gue cuci muka dulu." Elsa beranjak dari duduknya dan berdiri keluar kelas menuju toilet.

***

"Wah, ke playboy an Brian nggak ada harga dirinya kalo sama Luna," kata Thomas dramatis saat melihat temannya itu tidur di kelas.

"Parah sih, Luna. Nyamperin Brian kek rentenir."

"Bukannya debt collector?"

"Mereka saudara bukan, sih?"

"Bri! Bangun! Elah ni anak kebo banget, deh," keluh Rio yang sedari tadi sudah berusaha membangunkan Brian tapi tidak berhasil.

"Siram aja pake air," usul Thomas yang diangguki oleh Leon.

"Lha, kenapa bukan lo aja yang nyiram? Biar nggak omon-omon, buktikan dong!" Rio masih ingin makan di kantin dengan gratis dan khidmat. Membangunkan Brian dengan menyiram air sama saja membunuh impian Rio makan gratis.

"Waktu dan tempat dipersilakan," imbuh Leon yang kini terkikik geli di samping Rio.

"Cemen lo berdua. Bangunin Brian aja nggak berani. Gue, dong!" Dengan bangga Thomas menepuk dadanya dan menghampiri Brian yang tidur dengan nyenyak. "Bri, bangun. Sebelum dibangunin Luna," bisik Thomas yang membuat kedua temannya melongo lalu tertawa terbahak-bahak. Mereka pikir Thomas akan menendang kursi atau setidaknya menggebrak meja Brian, sebaliknya cowok itu malah berbisik di telinganya.

"Ini yang katanya gentle?! Kalo gitu doang gua juga bisa," ucap Rio jumawa.

"Berisik!!" Brian bangun dari tidurnya dan berjalan keluar kelas. Tujuannya adalah toilet untuk menyegarkan muka yang kusut akibat tidur.

"Apa perlu kita ikutin? Gue takut nanti dia ketiduran di toilet," celetuk Rio yang langsung digeplak oleh Thomas. "Sakit, kacang pilus!"

"Lo sih, kalo ngomong nggak ngotak. Ngapain dia tidur di toilet kalo pintu uks terbuka lebar," kesal Thomas.

"Ah, iya juga ya."

"Ya udah ikutin aja. Daripada kalian galau. Sekalian kita ke lapangan." Leon menengahi pertengkaran itu dengan kata-kata mematikan. Ketiganya berjalan dengan santai sambil menggoda cewek dan menyapa para cowok.

"Brian di hadapan Luna label palyboy nya kagak ada ada artinya samsek."

"Kasihan," ucap Thomas dan Rio bersamaan.

Mereka mengikuti Brian yang berjalan ke toilet. Katakan saja itu bentuk setia kawan mereka. Lagipula mereka takut terjadi apa-apa yang dapat merusak mood Brian dan berakhir mereka yang kena amuk.

"Ughh, sakit," ringis Elsa saat ia jatuh dengan pantat mencium lantai.

"Sorry sorry, gue nggak sengaja."

Brian membantu Elsa berdiri dengan mengulurkan tangannya untuk disambut. Terdiam saat keduanya berhadapan dan Brian dapat mencium parfum Elsa yang beraroma es krim vanila. Parfum yang sama dengan di taman kemarin. Parfum yang membuat Brian tersenyum hanya dengan menghirupnya.

Elsa melepaskan genggaman tangan Brian dan mengibaskan pada roknya yang kotor. "Gue yang salah. Masih ngantuk pas jalan tadi. Sorry. Lo nggak papa, kan?" Elsa mengamati Brian dari atas ke bawah.

"Eh, nggak papa, kok." Brian tersadar dari lamunan dan pikirannya yang berkelana.

"Oh, oke. Gue ke toilet dulu."

Brian menatap Elsa yang berlalu. Terpaku pada Elsa yang minta maaf terlebih dahulu dan masih sempat menanyakan keadaannya. Tanpa sadar Brian tersenyum kecil. Baru kali ini ia menemukan cewek seperti Elsa. Belum lagi aroma es krim vanila yang manis membuat Brian betah di sampingnya. Sekarang dia tahu target berikutnya siapa.

"Ah, gue lupa nanya namanya siapa." Brian menepuk keningnya keras.
















Jadi begini....

Semoga kalian suka dan terus membacanya. Udah itu aja. Makasyiii ^^



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Satu Sama!! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang