9. Tidak Takut Mati

11 3 1
                                    

Sudah lewat tengah malam dan Daren belum sedetik pun memejamkan kedua matanya. Ia berdiri di ambang pintu kamar adiknya dan melihat sang ibu yang rutin mengompres tubuh Ester. Selang beberapa jam setelah kejadian saat makan malam, Ester akhirnya tertidur. Luka-luka bakar di tubuhnya perlahan-lahan mulai terlihat.

Perlahan, Daren kembali menutup pintu dan ia berjalan keluar menuju ke halaman belakang rumahnya. Ia mendudukkan tubuhnya di permukaan rumput, lalu memeluk kedua lututnya.

Anak itu mulai menangis di sana seperti biasa, tanpa adanya siapapun yang melihat.

"Semua ini salahku."

Rangkulan dari bunga-bunga dan pohon yang ada di sana kini seolah tak lagi bisa menyembuhkan rasa sakitnya. Kedua bahu milik Daren bergetar, anak itu menumpahkan segala rasa sedihnya di sana.

Tak peduli seberapa keras dia mencoba menjadi anak yang baik, di mata ibunya ia tetaplah sosok pembawa sial yang begitu menyebalkan. Keberadaannya di rumah itu hanya seperti membawa malapetaka bagi kedua orang tuanya. Apa yang selama ini Daren lakukan seketika menjadi tidak berguna dan juga sia-sia.

Mungkin, kali ini ia harus benar-benar mencari jalan keluar agar keluarganya memperoleh kebahagiaan seperti keluarga teman-temannya.

Perlahan, Daren mengangkat wajahnya. Ya, ia harus melakukan sesuatu.

Esok paginya, ia memasuki kamar adiknya dan melihat gadis malang itu masih terbaring tak sadarkan diri. Entah seperti apa rasa sakit yang Ester rasakan saat ini, Daren hanya berharap ia bisa membantu Ester.

"Kakak janji akan membuatmu sembuh secepatnya."

Diusapnya perlahan puncak kepala Ester, sebelum akhirnya ia mengecup permukaan kening sang adik. Daren menatapnya selama beberapa saat dan segera menghapus air matanya yang berhasil lolos tanpa persetujuannya. Ia meletakkan secarik kertas sebelum benar-benar berbalik dan membawa kedua kakinya keluar dari kamar itu.

Ia melihat ibunya membuat bubur untuk Ester di dapur. Daren hanya bisa menatap punggung ibunya dari ambang pintu tanpa berani mendekat. Ia tidak mau membuat suasana hati ibunya memburuk di hari yang masih begitu pagi.

Lalu ia pun kembali melanjutkan langkahnya. Kini, ia berjalan ke halaman belakang rumah. Ditatapnya semua tanaman yang ada di sana dengan seulas senyuman, akan tetapi matanya tak bisa berbohong sama sekali. Anak itu hampir kembali menangis. Ia menatap pohon besar yang selalu setia merangkulnya saat ia merasa sedih. Sekarang, Daren yang bergerak merangkul sang pohon. Kedua tangannya bahkan tak sepenuhnya bisa melingkari pohon yang ukurannya beberapa kali lipat lebih besar dari tubuhnya. Lalu ia menatap bunga-bunga dan beberapa rumput liar di sana dan tersenyum.

"Terima kasih banyak."

Daren melambaikan tangannya seraya melangkah hingga benar-benar meninggalkan rumah. Ia tak sempat berpamitan pada ayahnya, karena pria itu pergi bekerja pagi sekali. Namun ia sudah menuliskan semuanya pada kertas yang ia simpan di kamar Ester. Ia hanya berharap, semoga ibunya masih sudi untuk membuka dan membacanya.

"Daren?"

Daren mengerjap pelan saat seseorang menepuk pelan salah satu bahunya. Betapa terkejutnya ia saat melihat Olive dan Karl di sana.

"Kau ... mau pergi ke mana?" Olive menunjuk-nunjuk tas yang berada di balik punggung Daren.

"Ayahku bilang kalau orang tuamu semalam bertengkar, jadi pagi ini aku memberitahu Olive dan kami memutuskan untuk melihat keadaanmu. Apa kau baik-baik saja? Apa mereka memukulmu lagi?" Kini giliran Karl yang bertanya. Lelaki itu mengecek seluruh bagian wajah Daren untuk memastikan kalau sahabatnya itu masih dalam keadaan baik-baik saja.

Daren : The Silent CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang