Radio Romance

3 1 0
                                    

Langit biru tanpa awan serta udara segar yang saling bertiup antara rerumputan hijau di atas bukit yang jauh dari ramainya perkotaan. Waktu yang pas untuk meningmati akhir pekan yang menyenangkan sembari mendengarkan musik dari radio mini tanpa harus memikirkan betapa berisiknya suasana kota di akhir pekan ini. Rasanya jauh lebih nyaman seperti ini.

"Gimana rasanya jatuh dari pesawat?" Ujar seorang laki-laki yang saat itu tengah fokus menatap pesawat terbang yang melintas di atas langit tempat mereka berdua berbaring sembari menatap langit biru yang bebas dari awan itu di bawah pohon.

Laki-laki itu bernama Alex. Seorang laki-laki dua puluh tiga tahun yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di universitas yang cukup terkenal di kota, laki-laki yang memiliki jiwa seorang pemimpin yang jauh lebih baik dari seorang penasehat hukum. Sedangkan perempuan di sampingnya adalah Chris, perempuan berusia dua puluh tahun yang merupakan salah satu mahasiswa yang ada di universitas tempat Alex berkuliah dulu.

Jarak usia mereka berdua memang terlampau cukup jauh, namun mereka bukan seorang saudara apalagi pacar. Hubungan mereka hanya sebatas sahabat dari masa kecil yang dulu sempat harus berpisah jauh selama sepuluh tahun karena salah satu dari mereka harus pergi mengikuti orang tuanya karena masalah pekerjaan. Namun mereka tidak pernah mempermasalahkan hal itu, justru dengan begitu mereka bisa memiliki waktu untuk memperbaiki diri sebelum akhirnya mereka bertemu kembali. Hingga sepuluh tahun kemudian, tepatnya satu tahun yang mereka diberikan waktu untuk bisa bertemu kembali, namun dengan alasan yang berbeda yang mungkin akan jauh lebih baik untuk mereka berdua.

"Kamu udah gak mau hidup lagi?" Kini Chris yang bertanya kepada Alex, wajahnya terlihat heran sekaligus bingung menanggapi pertanyaan Alex yang terasa sangat absurd. Bagaimana ada orang berkeinginan untuk jatuh dari pesawat yang sedang lepas landas?

"Aku cuma kepikiran, gimana rasanya jatuh dari pesawat yang masih terbang tanpa harus pakai alat terjun. Apa rasanya seperti sedang terbang di atas langit bebas, atau justru sebaliknya." Alex terus melanjutkan tanpa melepas fokusnya pada langit biru sembari menikmati terpaan angin yang menerbangkan helaian rambutnya yang menutupi hingga ujung matanya. Percaya atau tidak, pertanyaan aneh itu tidak semena-mena keluar dari mulutnya, namun dirinya ingin memastikan bahwa pertanyaan itu bisa terjawab tanpa memasukkan kebohongan di dalamnya.

"Mungkin rasanya bakal jauh lebih lega dari sekarang." Kali ini Chris menjawab dengan nada yang lebih santai. Dirinya mulai menyamankan posisi berbaring agar dapat menatap langit biru dengan lebih leluasa. Benar, jatuh dari pesawat bukan sebagian hal buruk, ada kalanya saat itu menjadi waktu terbaik untuk meluapkan segala emosi yang mungkin membutuhkan' tempat baru untuk dituangkan.

Laki-laki itu spontan menolehkan kepalanya ke kiri dan menatap Chris yang masih terdiam dalam pandangannya. "Kenapa?"

"Semua orang di dunia itu pasti punya emosi, dan emosi itu juga perlu dituangkan ke tempat yang cocok. Kaya katamu tadi, mungkin rasanya jatuh dari pesawat bisa jadi lebih melegakan setelah bisa meluapkan seluruh emosinya di udara bebas." Chris menjawab dengan santai. Kali ini dirinya ikut menolehkan kepalanya ke kanan dan ikut melakukan kegiatan yang sejak tadi dilakukan oleh Alex.

Kini kedua mata itu saling bertemu, memandang lekat satu sama lain diiringi dengan alunan musik dari radio mini yang berbunyi halus diantara mereka berdua. Saat itu radio sedang memainkan alunan musik klasik yang sangat cocok untuk mengiringi tatapan mereka yang begitu lekat dan dalam. Ini adalah salah satu waktu yang sangat Alex inginkan setelah sepuluh tahun mereka berpisah dari jarak dan waktu tanpa tau bagaimana kabar satu sama lain. Selama sepuluh tahun dirinya harus menatap rindunya untuk menatap wajah manis perempuan yang selalu dirinya ingat dalam mimpinya setiap malam.

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat, dirinya membutuhkan waktu selama 36 bulan yang sama saja dengan 3.650 hari untuk dirinya bisa kembali bertemu dengan seseorang yang berharga dalam hidupnya. Mungkin dirinya terlalu berlebihan karena selalu menghitung hari selama itu, namun ini yang dirinya butuhkan.

"Chris."

"Hem?" Perempuan itu berdehem. Kedua matanya masih terus menatap kedua netra hitam milik Alex yang terasa lebih teduh dan hangat.

"Gimana kabar kamu?"

Chris berdecak samar saat mendapat pertanyaan itu dari Alex. Wajahnya sedikit berubah kesal dan memilih untuk kembali menatap langit yang kini perlahan mulai dihiasi dengan awan-awan kecil yang juga menutup sebagian cahaya matahari yang turun. "Setelah satu tahun lebih kamu baru tanya ini ke aku?"

"Karena satu tahun lalu aku belum bisa tanya ini ke kamu, Chris."

"Kenapa? Karena kamu belum bisa nerima kalau kita udah gak sama setelah sepuluh tahun?" Chris menebak.

"Bukan, tapi karena kita terlalu dekat waktu itu." Elak Alex masih terus menatap wajah manis Chris dari samping.

"Tapi sekarang situasinya udah beda, lex. Kita udah gak sedekat itu lagi, kita udah beda."

"Beda karena kita gak pernah memulai jalan baru lagi semenjak itu. Karena kita terlalu canggung, Chris."

Chris tertegun dalam diamnya. Apa yang dikatakan Alex itu benar, mereka berdua terasa lebih renggang semenjak perpisahan mereka sepuluh tahun yang lalu. Mereka seperti orang asing yang tidak pernah bertemu dan kemudian dipaksa untuk saling membuka jalan bersama. Rasanya seperti waktu sedang memaksa mereka untuk saling berbagi meskipun mereka tidak ingin. Jika boleh memilih, mungkin mereka akan memilih untuk tidak berpisah selama sepuluh tahun dan menciptakan chemistry mereka yang baru, mungkin itu jauh lebih baik untuk sekarang.

"Chris.."

"Ya?"

Alex terdiam, ternyata masih ada kesunyian di antara mereka. Terasa begitu jelas, mengikuti ritme jantung yang tanpa henti. Mungkinkah mereka berdua bisa menghilangkan rasa sunyi ini? Atau sunyi ini akan bersama mereka selamanya?

Jika memang pertemuan mereka berdua adalah sebuah kesalahan, mungkin mereka tidak akan saling merindukan satu sama lain seperti, dan jika memang keduanya ditakdirkan hanya untuk saling menerima rindu, sepertinya gejolak aneh ini tidak akan muncul di antara mereka berdua.

Lalu bagaimana dengan sepuluh tahun mereka? Apa akan tertinggal begitu saja bersama waktu? Lalu bagaimana dengan saat ini?

Alex terus mencari jawabannya, melalui sepasang mata indah yang selalu menjadi alasan utamanya untuk terus menatap dan terus memandangnya seperti ini. Tatapan itu masih sama dengan sepuluh tahun yang lalu, masih indah seperti alunan musik yang masih berputar di antara lantunan lirik dari radio.

Mungkinkah ini yang sering orang-orang sebut dengan perasaan? Mungkinkah perasaan itu perlahan muncul dalam dirinya? Apa ini yang dimaksud dengan lirik yang sempurna?

"Gimana perasaan kamu?"

Kedua matanya masih bertaut satu sama lain. Alex bisa melihat bagaimana kedua pupil mata itu mengecil saat pertanyaan itu keluar dari mulutnya, mungkinkah perempuan itu akan menjawab pertanyaannya?

Sekelebat ingatan sepuluh tahun lalu kembali muncul di dalam otaknya. Saat di mana dirinya harus berpisah dengan seseorang yang selalu menjadi alasannya untuk bertahan. Sosok yang selalu ada dalam iringan doa nya, sosok yang selalu ada dalam mimpinya, serta sosok yang selalu menjadi prioritas utamanya selama sepuluh tahun menunggu. Apa mungkin itu semua bisa terulang kembali setelah hari ini?

Namun tak lama kemudian jantungnya terasa berdegup kencang sesaat setelah sebuah kalimat yang tidak pernah dirinya bayangkan akan muncul setelah perempuan bernama Chris itu menarik kedua sudut bibirnya tepat di hadapan matanya.

"Perasaan aku masih sama, lex, dan gak akan berubah sedikitpun."


The End

Radio Romance ( One shoot )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang