XVI. Fakta di Balik Benda Tua

30 6 2
                                    

Kedua gadis muda itu tengah berada di dalam hutan yang kelewat lebat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kedua gadis muda itu tengah berada di dalam hutan yang kelewat lebat.

Beberapa menit lalu, mereka menemui Kepala Akademi yang rupanya sudah duduk di ruangannya dalam keadaan sehat walafiat. Keadaan Odelia sudah membaik sejak kemarin, tepat setelah penyerangan di perpustakaan terjadi. Wanita itu khawatir bukan main ketika mengetahui keponakannya diincar oleh orang-orang itu. Dia membuat Luna berdehem karena meraba-raba panik tubuhnya seakan-akan dia baru saja berjalan dengan tubuh tidak utuh.

Setelah acara tegur sapa antara Bibi dan Keponakan yang tentu saja dicurigai Aileen—untungnya gadis itu memilih bungkam—Luna memberitahu tujuan sebenarnya mereka mencari Odelia. Saat itu, hanya gelengan yang mereka dapatkan. Tanda bahwa Kepala Akademi tidak mengetahui apapun mengenai bahasa kuno. Mereka merasa sangat kecewa. Namun Kepala Akademi menekankan bahwa mereka bisa menemui salah satu Tetua Agung yang tinggal di hutan belakang Kota Brittlehall, berhasil memunculkan secercah harapan bagi kedua gadis itu.

"Siapa nama Beliau tadi? Altar?"

"Altarius Reddame," ralat Aileen cepat membuat Luna mejentikkan jari.

"Ah, ya itu dia." Luna mengangguk, dia mengayunkan tongkat, membuat sebuah kertas melayang di depannya. "Berdasarkan peta yang diberikan bi—Kepala Akademi, harusnya rumah Tetua Reddame tak jauh dari sini."

Titik merah yang ada di peta menunjukkan keberadaan mereka saat ini yang akan bergerak mengikuti pergerakan langkah kaki. Kemudian titik berwarna kuning itu adalah tempat tujuan, dihubungkan dengan titik merah menggunakan garis berwarna kebiruan yang dilengkapi pula dengan angka untuk menjelaskan jarak—saat ini tertera delapan ratus kilometer. Mereka sudah menelusuri hutan lebat ini selama kurang lebih satu setengah jam. Tak ayal mereka mulai merasa pegal dan lelah.

"Haruskah kita istirahat?" tanya Luna, menggumam. Mengingat perutnya mulai kembali mengerang lapar.

Aileen menggeleng. "Sebentar lagi kita sampai."

Dengan begitu, mereka memutuskan kembali berjalan menempuh jarak.

Matahari bersinar semakin terik. Daun yang tumbuh dengan lebat memberikan keuntungan  pada kedua gadis itu untuk menghalangi sinar panas yang masuk di antara celah dedaunan. Bau dedaunan yang khas memasuki indera penciuman, mendatangkan perasaan tenang yang tak bisa dideskripsikan. Di batang-batang pohon yang tak terhitung jumlahnya, burung-burung berwarna kuning dengan ekor panjang dan besar seperti merak bertengger dan berkicau menyanyikan melodi yang menyentuh hati. Sementara itu jamur-jamur berwarna kuning yang tudungnya bercahaya terkena pantulan sinar matahari meliuk-liuk seolah-olah tengah menari mengikuti irama kicauan burung.

Hutan itu terlalu nyaman dan tenang. Sempat terlintas di pikiran Luna bahwa mereka mungkin saja bisa tinggal di sana.

Tapi pemikiran itu tak berlangsung lama setelah menyadari suara geraman hewan buas tak jauh di belakang mereka. Benar saja, sekawanan serigala berukuran besar dan berbulu hitam mengintip dari batang-batang pohon yang menjulang tinggi. Tepat ketika Luna berseru untuk waspada, hewan buas itu lantas berlari ganas menuju mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Altered History of AlthoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang