Written by HasrianiHamz
💠💠💠
"Bawa sini ... bawa sini! Woii! Adik aku bawa sini!"
Suara bang Adi berteriak ketika seseorang mencoba melindungiku dengan jaketnya. Aku tidak tahu siapa dia, tapi tak juga peduli dengan itu semua. Entah bagaimana ceritanya hingga aku sudah setengah sadar, toa yang tadi kupegang kini sudah berpindah ke pundaknya. Semuanya terasa begitu cepat, aku yang masih berdiri di atas mobil beberapa menit lalu tiba-tiba sudah berada dalam perlindungannya. Padahal seingatku, tiga orang yang berjaga di belakang spontan lompat dan melarikan diri masing-masing ketika suara tembakan pertama meledak. Lalu, siapa orang ini?
"Fokus!" bisiknya.
Seketika aku teringat ucapan Rasyad kemarin. "Kalau Sera juga turun, nanti fokusnya terbagi."
Bagaimana dengan aksi mereka di sana? Sericuh apa yang terjadi, di sini saja yang notabene tidak begitu padat sudah lumayan chaos.
"Ar ... sini, Dek, sini!"
Dengan sigap bang Adi menggantikan lelaki itu memapahku. Suaranya berhasil menyadarkanku bahwa tidak seharusnya pikiran meninggalkan raga yang sedang berjuang di sini. Urusan Rasyad bisa nanti saja.
Aku tidak apa-apa, hanya sedikit kaget hingga rasanya persendianku lemas. Aku pikir ini akan menjadi aksi terakhir seorang Arsyra, tapi ternyata Tuhan masih mengasihiku dengan mengirimkan lelaki yang bertanggungjawab sepertinya. Kutatap wajah lelaki itu dengan seksama, tapi tetap saja aku tak bisa mengenalinya. Mungkin memang dia orang baru yang kutemui hari ini.
"Dek, coba kau cari korlapnya. Suruh arahkan massa agar tetap maju dengan tenang, nanti kita cari siapa provokatornya."
Lelaki itu hanya mengangguk, ia menatapku sebentar sebelum berlari kembali ke arah kerumunan massa yang semakin membabi buta melawan aparat. Akan tetapi, kenapa dengan matanya? Apakah baru saja dia meremehkanku?
"Kawan-kawan sekalian ... harap tenang!"
Suara itu terdengar tegas, seketika ia terlihat begitu kharismatik. Siapa dia sebenarnya? Apakah dia kader dari himpunan yang sama denganku? Tapi kenapa sedari awal bukan dia saja yang mengambil peran ini? Padahal kelihatan begitu jelas jika dia bisa menguasai lapangan dengan suaranya yang tegas dan penuh penekanan.
***
Setelah hampir seharian di jalan, kini semuanya kembali ke rumah masing-masing, kecuali aku yang masih ditahan di sini--di Sekret Cabang. Mungkin aku harus dimarahi dulu sebelum dipulangkan untuk beristirahat. Bisa jadi juga diistirahatkan untuk selamanya sebagai sanksi atas tugas yang tidak dapat kujalankan dengan baik.
"Arsyra, apanya yang luka?" tanya bang Iman dengan tatapan tajamnya.
Belum juga berpaling dari sorot mata itu, telingaku sudah mendengar lagi suara bang Haikal yang menggelegar memasuki ruangan.
"Iya yang aku tanya ini kenapa harus Arsyra? Udah habis kadermu, Bang?" Ia membentak bang Adi.
Sungguh, aku tidak percaya. Ini kali pertama aku lihat bang Haikal semarah itu. Aku pikir selama ini mereka tidak bisa marah, hanya bertukar tawa setelah saling mengolok.
"Siapa? Aku tanya, siapa yang bisa?" balas bang Adi dengan kesal.
"Kau kenapa? Ada si Iman juga, ada Dinda kalau memang kalian ini mau dengar suara perempuan orasi di atas sana. Kenapa harus Arsyra?"
Bang Haikal berjalan ke arahku sambil terus membentak bang Adi, langkahnya yang sedikit lebar dan cepat menunjukkan dengan jelas jika ia sangat emosi saat ini.
"Kal, jangan gitulah. Kita bicara dulu baik-baik," bujuk kak Dinda.
Sayang sekali suaranya tak dihiraukan sedikit pun. Lelaki itu benar-benar menununjukkan sisi lain dari dirinya yang selama ini ditampilkan. Inilah bang Haikal, senior yang pendiam dan terlihat sabar dengan suara yang tak pernah ditinggikan ketika berbicara. Ia yang terkenal bijak kini menanggalkan semua persepsi itu terhadap dirinya.
Aku masih bingung. Dari mana dia selama beberapa hari ini? Lalu, kenapa tiba-tiba kehadirannya jadi seperti ini? Ia seperti bukan bang Haikal yang aku kenal.
"Ayo, Dek," ajaknya saat ia berhasil meraih tanganku.
Tanpa aba-aba ia langsung menarik dengan pelan agar aku bangkit dari duduk dan mengikuti arahnya melangkah keluar.
"Haikal. Kalau berani kau bawa anak itu keluar dari sini, jangan pernah kau injakkan lagi kakimu ke Cabang!"
Ya. Dan ini adalah hal yang paling membingungkan. Tidak percaya, tapi memang kenyataannya, bang Iman berani meneriaki bang Haikal dengan sekasar itu. Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka selama aku pergi?
***
Hari semakin gelap. Seseorang dari mereka memencet saklar guna menghidupkan lampu, tapi aku belum berani menatap wajah bang Haikal. Aku terlalu takut dengan kondisi yang seperti ini, pertengkaran yang tidak kuketahui penyebabnya apa, membuat semakin buta dan tersesat di tempat ini.
Meski begitu, aku tetap mengikuti langkahnya. Hari ini aku benar-benar memasrahkan hidupku pada senior, dibentak dan dicaci sekalipun aku tak lagi peduli. Sudah terlanjur terombang ambing seperti ini, apa lagi yang kuharapkan? Setelah gagal menjalankan amanah, lalu melihat pertengkaran senior pun aku tidak paham lagi selanjutnya harus bagaimana menyikapi semua keadaan yang terus memupuk kekecewaan.
Entah mengapa rasa penyesalan itu tiba-tiba hadir. Mengingat lelaki yang kini membawaku menjauh dari cabang adalah lelaki yang dulunya menarikku untuk bergabung. Mungkinkah ia merasakan hal yang sama sekarang? Menyesal karena telah membuatku terjebak di dalam sana. Namun, bagaimana pun besarnya sesal yang menyesakkan, apa yang akan dilakukannya sekarang? Menyuruhku keluar? Berhenti untuk mengikuti semua kegiatan yang terlanjur diagendakan? Rasanya begitu mustahil.
Aku tersenyum miris mengingat semuanya dari awal hingga aku bisa sampai di hari ini. Organisasi ini tidak salah. Ia didirikan hanya sebagai rumah untuk menampung mahasiswa yang bisa saja nyasar atau lari dari tanggungjawabnya. Ia hadir tidak untuk menyesatkan, tetapi untuk menyatukan pemikiran agar setiap generasi bisa menghadapi tantangan di zamannya masing-masing. Apa lagi jika bukan untuk mencapai tujuan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Subhanahu Wata'ala.
"Asryra, mau langsung pulang kah?" tanya bang Haikal setelah terdiam cukup lama.
"Iya."
"Soal yang tadi jangan dimasukkan ke hati, ya. Pertengkaran seperti itu memang sudah biasa bagi senior. Nanti malam juga paling kita orang sudah nongkrong lagi itu."
Apa? Dengan gampangnya ia menjelaskan seolah yang baru saja terjadi hanyalah masalah kecil. Aku sudah hampir jantungan melihatnya, tapi dia hanya menggapnya hal biasa. Luar biasa dunia senior, mereka akan kembali tertawa dengan lakon yang mereka perankan tanpa melihat mental adik-adiknya bagaimana setelah itu.
Sumpah, ini benar-benar mengecewakan. Tadinya aku pikir senior sama seperti seorang kakak yang akan selalu menjaga adiknya, mengajarinya dengan memberi contoh yang baik, merangkulnya dalam pelukan yang nyaman hingga adik tersebut merasa aman di rumah, sekalipun nanti sang kakak memilih pergi dan menitipkan rumah itu.
"Ada semua ji hikmahnya itu, Sera. Pokoknya jalani saja, kalau lelah istirahat. Dapat jalan buntu, ya, putar arah asal jangki langsung menyerah."
Aku menarik napas cukup panjang ketika mengingat pesan Rasyad beberapa hari lalu. Saat itu aku baru saja mengadukan semua amarah, dan rasa lelah yang membuatku sedikit kecewa. Jika sekarang aku menceritakan hal ini padanya. Akankah ia tetap memberikan arahan seperti itu? Tak membiarkanku untuk menyerah atau justru aku akan menemukan jawaban lain?
Bibirku sedikit tertarik hingga membentuk sebuah senyum simpul. Oke, aku akan meneleponnya lagi nanti, akan kukatakan padanya kegagalan yang kualami hari ini.
*✨*✨*
![](https://img.wattpad.com/cover/301142822-288-k223070.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa
Teen FictionBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...