00.07 Time | Moon Stone

833 75 46
                                    

Senyum itu memudar, meninggalkan lara akan atma yang terhancurkan. Saat raga telah kosong akan jiwa, taka da lagi cahaya yang meraba.

──── Artem Icy Alfarez ────

⋆☽◯☾⋆

Arion melangkah di Lorong istana menuju aula rapat. Ketika ia ingin mengistirahatkan diri, pengawal pribadinya, Rodelyn, menyampaikan pesan dari Heinrich untuk berkumpul di sana.

Sangat aneh menurutnya, Kakak Kedua tiba-tiba memanggil mereka untuk membahas perihal kekaisaran alih-alih untuk menghabiskan waktu dengan bersenda ria. Apakah Kakaknya sedang bosan? Karna ia cukup trauma dengan kejahilan kakaknya terakhir kali yang tiba-tiba mengirim pesan darurat agar ia menyelamatkannya dikarenakan mendapat serangan penyusup dari negara musuh, tetapi ketika ia bergegas kesana, yang di temukannya adalah sang kakak terbaring santai menikmati cahaya mentari. Saat ia pastikan, tak ada penyusupan ataupun penyerangan yang menimpanya. Itulah mengapa, kepercayaannya pada sang kakak berkurang.

2 Pengawal yang menjaga pintu aula, menunduk hormat pada Arion serta membuka pintu besar dengan ukiran-ukiran indah. Mempersilahkan Arion untuk masuk ke ruangan.

"Apakah aku yang terakhir datang?" celetuk Arion, membuat semua manik tertuju padanya.

"Duduklah kak, tak berapa lama lagi, kak Heinrich tiba," tukas Aaron malas.

Arion hanya mengangguk sekilas. Mengambil tempat di sebelah Orion yang memainkan bola apinya, karna bosan.

Tak ada percakapan berarti di antara mereka yang sibuk dengan kegiatan masing-masing, sembari menunggu kehadiran orang yang meminta mereka hadir.

Ya, Arion bingung ingin membuka percakapan, tetapi ia juga takut salah mengucap dan berakhir dengan kesalah pahaman seperti yang terjadi pada Kakak Tertuanya.

"Mengapa kalian begitu diam? Apa kalian melupakan bahwa kita semua bersaudara? Atau kalian menganggap kita semua bersaing dalam perebutan takhta?" celetuk Arsen memecah keheningan.

Mereka semua saling memandang dengan perasaan kalut. Ucapan Kakak Ketiga terdengar sangat sinis bagi mereka. Tidak peduli apa yang menimpa hubungan mereka, tidak mungkin mereka akan berpikir untuk bersaing dalam perebutan takhta. Apalagi, mereka telah bersumpah bahwa takhta itu hanya layak di duduki Kakak Tertua, serta taka da yang bisa menggantikannya.

Mereka semua tahu itu, tapi mengapa Kakak Ketiga mereka malah menyulut api? Hal itu membuat kebingungan melanda benak mereka.

"Kak, aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tetapi kami tidak akan melanggar sumpah yang kami ucapkan sendiri," tegas Arion.

"Ho, apa aku harus senang dengan itu?" ujar Arsen tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya.

"Kak, ada apa denganmu?" tukas Aland menimpali. Bagi Aland, Arsen seolah seperti orang lain yang menginginkan ada perselisihan di antara mereka.

Ia begitu mengenal Kakak Ketiganyayang selalu berhati-hati setiap mengatakan sesuatu, bahkan Aland masih ingat ucapan Kakak Ketiganya itu saat mereka berdua melakukan mediasi karna pertengkaran kecil antara dirinya dengan Aaron, Kakak Ke-enamnya.

"Aku tidak ingin ada masalah yang menimpa kita semua. Aku harap kita semua dapat menjadi saudara yang saling menopang tanpa ada pertumpahan darah."

Itulah yang di ucapkan Arsen di masa lalu, tetapi Arsen yang ini sangat berbeda dari sifatnya, begitu juga auranya.

'Ada yang aneh dengan Kakak Ketiga' batinnya.

"PANGERAN KEDUA KEKAISARAN ALTHEA, YANG MULIA PANGERAN HEINRICH AKAN MEMASUKI RUANGAN."

The Eldest Brother's Odyssey [END] {SUDAH TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang