Ke-satu, noda merah.

3.9K 398 83
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy Reading!


Secangkir teh hangat yang masih Ibu genggam ditangannya, menjadi saksi bisu bahwa sebenarnya ada banyak sekali kata yang tidak dapat diutarakan dengan mudah. Satu tegukan, dua tegukan, bahkan sampai tegukan terakhir, masih belum ada suara yang keluar.

Perlahan dan sangat hati-hati, Ibu menaruh cangkir itu di atas meja, kemudian menatap Bapak yang masih sibuk menyisir rambut sambil bercermin di kaca lemari. Beberapa menit lalu, Ibu sudah pernah bertanya perihal noda merah yang semalam ia temukan di kerah baju Bapak sepulang bekerja, tetapi selalu tak ada penjelasan yang masuk akal untuk di dengar.

"Bapak, mau sampai kapan menghindar?"

Sembari menyemprotkan minyak wangi di beberapa bagian tubuhnya, Bapak pun menoleh pada Ibu dengan senyuman yang tak pernah lepas sejak tadi.

"Menghindar gimana, Bu? Bapak, kan, sudah bilang kalau itu bukan noda Lipstik seperti yang Ibu kira."

Masih dengan seyumannya, Bapak menghampiri Ibu yang sedari tadi duduk di tepian ranjang. Sedangkan Ibu hanya bisa mengembuskan napas panjang sembari membuang pandangan ke arah lain. Rasanya kesal sekali melihat senyuman Bapak yang seperti menyepelekan rasa sakit di hatinya.

"Bapak harus gimana supaya Ibu percaya?"

"Pak," suara Ibu tertahan saat matanya bertemu dengan mata Bapak, "Ibu bukan orang yang sebodoh itu untuk Bapak bodoh-bodohi. Ibu tahu itu lipstik, bukan saus, bukan sambel, bukan pewarna makanan."

"Jelas-jelas itu lipstik. Bapak mau mengelak dengan alasan yang bagaimana lagi?"

Embusan napas panjang terdengar. Bapak mengarahkan seluruh atentsinya pada Ibu dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Lalu lipstik siapa, Bu? Bapak seharian kerja, bukan main." Bapak lantas meraih tangan Ibu untuk digenggam, matanya mulai mengunci tatapan perempuan dihadapannya itu.

"Apa Ibu sudah nggak percaya lagi sama Bapak?"

"Lipstik siapa?" Ibu mengerutkan keningnya, merasa tidak habis pikir dengan kalimat yang baru saja Bapak lontarkan.

"Kenapa tanya Ibu, Pak? Ibu nggak akan pernah tahu itu lipstik siapa kalau Bapak nggak mau jujur." kemudian sembari memalingkan pandangannya dari Bapak, Ibu menarik tangannya yang semula masih Bapak genggam.

"Pak, Ibu cuma mau Bapak jujur."

Matanya mulai berkaca-kaca, Ibu kembali menatap Bapak dengan emosi yang masih tertahan.

"Ini bukan kali pertama Ibu nemuin noda merah persis seperti noda yang semalam ada di baju Bapak." tatapannya berubah, Ibu terlihat sudah sangat menyerah menghadapi Bapak yang seperti ini.

"Mau sampai kapan?" suara Ibu memelan, kemudian tangannya bergerak untuk disimpan di pipi Bapak, "Mau sampai kapan Bapak kayak gini?"

Ibu mencakup pipi Bapak menggunakan kedua tangannya, "Ibu capek, Pak." air matanya mulai berjatuhan satu-persatu. Yang mana itu langsung membuat Bapak merasa sangat bersalah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LAUT SEBELUM PASANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang