Prolog

64 8 0
                                    

Manusia itu sama, hanya bisa berkhayal tentang ini-itu sebelum akhirnya tersadar akan kenyataan bahwa hidup bukanlah tempat yang mudah untuk dilewati.

Memangnya apa yang diharapkan di tempat di mana Adam dan Hawa dihukum?

Sayangnya, kebanyakan manusia lahir dan dibesarkan untuk menjadi sosok yang hidup dalam angan-angan serta mimpi. Bocah laki-laki disuguhi film manusia super baik hati yang rela mati melawan monster demi menyelamatkan orang-orang, sementara bocah perempuan disuguhi tontonan berupa putri tak berdaya yang diselamatkan seorang pangeran kemudian akhir bahagia berupa pernikahan.

Pada akhirnya, laki-laki dan perempuan diletakkan pada tempat yang sama.

Lantas setelah dewasa, satu per satu dari manusia-manusia itu disadarkan oleh realita menyedihkan. Tak sedikit dari mereka yang menyalahkan takdir serta Tuhan, hingga mereka lupa bahwa Adam dan Hawa datang ke bumi untuk menerima hukuman atas kesalahan mereka sewaktu di surga.

Namun hidup pada dasarnya akan terus berlalu. Mau tidak mau, acap kali manusia memilih untuk hidup layaknya manusia pada umumnya; menikah. Walaupun tak sedikit dari mereka yang berakhir menyesal dan membuat pengadilan agama penuh setiap harinya.

Sean Aji Wicaksono, salah satu orang yang menyesali keputusannya untuk menjadi manusia normal yang memutuskan menikah. Namun agaknya, lelaki yang sering dipanggil Sean itu, belum mau menjadi salah satu dari orang yang mengantre untuk mendaftarkan dirinya di pengadilan agama.

Usia pernikahan mereka memang masih terlalu dini untuk diakhiri, tetapi Sean tahu bahwa hubungan mereka sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Tujuh tahun menjadi waktu yang cukup untuk membuatnya sadar bahwa menikah bukanlah suatu hal yang cocok untuk dirinya.

Pagi ini matahari bersinar begitu terik. Jakarta dan polusi menjadi satu dari hal yang membuat perasaan jadi memburuk. Pagi monoton yang penuh dengan kesibukan, permasalahan di kantor dan juga rumah membuatnya nyaris berteriak kesal. Sean datang ke kantor dengan wajah kusut yang membuat pegawai lain enggan mendekat.

"Lo kenapa lagi?" adalah pertanyaan pertama yang Anggara tanyakan setelah masuk ke dalam ruangan milik lelaki itu.

Keningnya berkerut sarat akan kebingungan atas pertanyaan yang baru saja sosok itu tanyakan. Sedangkan Anggara yang semakin sebal dengan reaksi dari sahabat berkedok sang atasan mendengus, kemudian duduk di hadapan Sean yang kembali fokus pada tablet dalam genggaman.

"Kantung mata lo udah ngalahin hitamnya mata panda, kalau lo mau tahu. So that's the reason why I'm asking lo kenapa lagi!" ulangnya.

Sean mendengus kesal, pun menyandarkan punggungnya. "Gue semalam berantem lagi sampai-sampai gue nggak bisa tidur," ujarnya sembari memijat batang hidungnya.

"Dia ngamuk lagi kayak biasanya?"

Yang ditanya memberi anggukan pelan, pun mendengus untuk kesekian kalinya. "Ya, kayak yang lo tahu. She's change that much, I don't recognize her anymore."

Kalau bukan karena perkerjaan dan profesionalitas, Anggara pasti sudah memaki lelaki ini dan pergi meninggalkannya setelah melempar surat pengunduran diri. Sebab sekalipun dia sudah mengenal Sean sejak kecil, akan tetapi ada masa di mana dia juga jenuh dengan permasalahan yang tak pernah berubah selama tujuh tahun lamanya ini.

Anggara hanya bisa mengedikkan bahunya mencoba acuh, pun meletakkan berkas yang harus Sean tanda tangani itu. "Emang ada apa sampai dia marah dan ngamuk lagi?" tanyanya tanpa ada sedikitpun ekspresi penasaran di sana.

"Gue maksa dia pergi, tapi gue nggak ngasih tahu ke mana."

Hening. Sean yang tadi menatap langit-langit ruangannya kemudian mengalihkan tatapannya pada sosok Anggara yang hanya diam. Sejenak diam memakan habis waktu di antara mereka, sampai akhirnya sang lawan bicara mengerutkan keningnya bingung—seolah-olah bertanya kenapa Sean malah diam dan tidak melanjutkan.

How Do We End Us?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang